Kenapa
begitu mendengar kata ibu-ibu, stereotype yang terbayang adalah : galak, bawel,
dan gampang marah ? .
Barangkali,
kelelahanlah yang gampang menyulut amarah tersebut. Sebagai perempuan yang kini
dalam fase hidup : menjadi ibu dengan
balita aktif luar biasa, saya gak ada penyangkalan sama sekali. Kelelahan itu hakiki.
Saat
ini, saya punya pekerjaan dan saya gak
pakai asisten rumah tangga Suami paling
bisa bantu bersih-bersih di hari sabtu-minggu. Jadi variable suami saya
hilangkan saja, karena tidak berpengaruh secara signifikan.
Terus
kalau kelelahan,kenapa gak pake ART?. Saya punya beberapa alas an: 1. Susah nyari ART yang bagus. Mencari ART
aja susah, apalagi mencari ART yang kredibel. Sudah sering saya dengar cerita
majikan maka hati, dan saya belum sanggup mengalami sendiri. . 2. Rasanya
privasi akan berkurang kalau ada orang lain yang tinggal di rumah sendiri. 3.
Saya gak kerja full time.
Atas
dasar pertimbangan untung rugi tersebut, sekarang saya memilih gak punya ART.
Entah lain waktu.
Lalu
bagaimana cara mengakali kehidupan saya agar berjalan baik-baik saja? Kalau
kerja, anak saya titipkan ke tetangga dekat rumah. Kalau saya gak sempat masak,
ya tinggal beli makan. Urusan bersih-bersih rumah tak terlalu menajdi masalah.
Syukur, rumah saya kecil, nyapu semua ruangan paling membutuhkan waktu tidak
lebih dari 15 menit. Saya mencuci baju sendiri dengan bantuan mesin cuci.
Sedangkan setrikaan sebagian besar saya laundry kiloan.
Tapi punya ART atau gak punya ART, bedanya
gak terlalu signifikan. Karena porsi terbesar yang menghabiskan banyak energi
dan waktu ya mengurus, membesarkan, dan mendidik anak.
Kembali
ke soal kemarahan. Marah itu membutuhkan energi. Padahal Uang dan energi
yang saya miliki terbatas, sementara kebutuhan akan uang dan energi tak
terbatas. Sehingga saya harus eman-eman.
Jadi
belakangan saya merasa saya sedikit lebih sabar. Bukan karena belajar yoga.
Bukan karena belajar tassawuf. Bukan karena rajin ikut pengajian. Bukan.
Tapi karena saya pelit. Saya gak rela
menghabiskan sebagian energi saya untuk marah-marah. Sebab ada buanyak hal lain
yang perlu saya lakukan.
Apakah gampang? Gak juga sih. Karena semakin
lelah seseorang, semakin gampang ia tersulut emosi, dan semakin habislah energi
nya.
Biasanya
saya lihat trigger atau pencetusnya apa. Kalau ternyata hal-hal non-substantif
dan atau hal-hal yang saya marah pun
tetap tidak bisa saya ubah. Lalu buat apa marah?
Marah
karena paslon dukunganna diejek. Apakah hal tersebut penting?
Jadi
haters di sosmed. Apakah hal tersebut penting?
Anak
hambur-hambur barang di rumah. Dua hari dua malam ngomel sama anak usia satu
tahun paling Cuma dijawab dengan duu..duu..wa…wa…
Sebel
sama tukang parker di Indomaret yang tiba-tiba muncul.
Ngomel
sama laki yang suka taruh baju sembarangan
Marah
karena dikasih kembalian receh semua.
Marah
sama toko antagonis di sinetron yang gak insaf-insaf
Marah
sama teman yang suka broadcast pesan
Marah
sama koneksi internet yang lambat.
Dan
serangkaian deretan trigger kemarahan yang gak berimplikasi banyak dalam hidup,
tapi energi buat marahnya cukup menyita dan seharusnya bisa dialihdayakan ke
hal-hal lain.
Ibu-ibu harus pelit marah |
Kalau
saya terlanjur marah, hal yang selanjutnya bisa dipilih adalah reaksi dan
durasi kemarahan. Apakah ngamuk, lempar-lempar barang, diam, atau
ngomel-ngomel. Kalau ini sih menurut saya tergantung style masing-masing.
Yang
lebih gampang dikendalikan adalah durasi. Kalau saya sudah terlanjur marah, ya
sudah selanjutnya saya akan berusaha mengalihkan perhatian. Alhamdulillah, saya
memang orang yang gampang sekali terdistraksi. Ingatan memori jangka pendek
saya jelek. Istilahnya, memakai kelemahan diri untuk hal-hal positif.
Ya,
saya bukan expert soal mengelola kemarahan sih. Cuma kalau siapapun di dunia ini bisa mengajak
orang lain untuk meminimalisir sampah yang dibuang, menjaga lingkungan,
menghemat pemakaian bbm dan penggunaan listrik.
So, tak ada salahnya saya menulis tentang menghemat energi dan mengelola amarah
.
Agar
tak ada lagi kasus: ibu-ibu salah rating, pengguna jalan lain yang kena
semprot.
Agar
gak ada stereotype lagi : ibu-ibu suka ngomel
Agar
energi marah-marahnya bisa dialihadayakan dengan belajar menu resep-resep baru,
menulis, ngurusin bisnis online, maskeran, bikin vlog, membaca buku, mengaji, dan tentu saja bermain
dan mengajari anak tentang banyak hal.
So…
buibuk mari rapatkan barisan. Save our energy!.
Semenit
dua menit kemarahan juga sangat berharga.
Demi
generasi Indonesia yang lebih berkualitas.
Cheers!
samarinda, Januari 2017
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation