Selalu ada cerita dibalik peristiwa.
Begitupun cerita kedatangan buah hati kami.
Seperti
yang sudah saya tuliskan pada posting sebelumnya, perkiraan lahir dari dokter
sekitar 25 atau 26 Desember. Setidaknya sebelum tahun berganti. Harapan saya, si dedek jadi hadiah luar biasa
di tahun 2015. Rupanya takdir yang tertulis menggariskan kalau si dedek lahir
ke dunia pada tahun selanjutnya. Somehow,
sempat ketar ketir. Khawatir, karena semua orang bertanya dan mengkhawatirkan.
Ya, saya garis bawahi SEMUA ORANG. Teman, sahabat, keluarga, rekan kerja.
Pertanyaan bertubi-tubi dengan nada khawatir tersebut malah membuat ketakutan
dan khawatir bertambah-tambah.
Katanya,
terlalu lama di dalam kandungan bisa terjadi pengapuran. Apalagi kalau ketubannya
tinggal sedikit. Bisa membahayakan
jabang bayi. Bahkan ada yang mengusulkan untuk segera di Caesar.
Hanya
seorang teman yang sudah menjadi ibu dari dua orang anak menenangkan saya: “ Si
dedek akan lahir ketika sudah tiba saatnya. Dia akan keluar pada waktunya”. Dan satu lagi yang terlihat sangat tenang: dokter
kandungan tempat saya rutin control. Sebut saja dokter A. Ia meyakinkan air
ketuban saya masih banyak, kondisi calon bayi sehat, dengan posisi sudah masuk
panggul. “ Sayang kalau harus dioperasi”, begitu kata si dokter.
“Kita
tunggu saja, minggu depan kembali (baca: tanggal 6 Januari) kalau belum lahir
juga. Jangan lupa gerakan bayi dihitung, harus lebih dari 12 kali dalam
sehari”.
Dan
seperti banyak peristiwa penting (dan tidak penting) dalam hidup. Ada saja
drama yang membumbuinya. Tak terkecuali pada peristiwa sepenting melahirkan
seorang manusia ke muka bumi.
Hari minggu, tanggal 27 Desember, mendadak
asma saya kambuh. Terparah selama hamil, bahkan terparah sepanjang tahun 2015.
Sesaknya tak bisa diatasi lagi dengan beristirahat dan menggosokkan balsam
hangat di sekitar dada. Terpaksa saya menggunakan inhaler, yang paling banyak
saya gunakan hanya beberapa kali dalam setahun. Bahkan kadang tak pernah tersentuh sepanjang
tahun.
Senin
pagi, nafas saya masih tersengal-sengal, tapi jauh lebih baik dari hari
sebelumnya. Kalau kejadian ini terjadi pada hari biasa, barangkali saya hanya
akan beristiraht. Namun ini adalah
hari-hari menjelang melahirkan. Seperti semua perempuan normal, saya menginginkan
kelahiran normal. Asma kambuh tentu bisa
menggagalkan planning tersebut.
Maka
senin pagi, saya dan suami berangkat ke Samarinda Medika Citra (SMC), rumah
sakit berjarak paling dekat dari rumah. Rencananya saya juga akan melahirkan di rumah sakit yang sama.
Jarak dekat, lumayan bagus, dan melayai pasien BPJS.
Pagi
itu saya control ke poli kandungan. Adalah dokter B yang menjadi dokter
kandungan stand by setiap hari di SMC.
Niat awal, saya hanya ingin mengobati asma yang kambuh. Begitu masuk ruang
periksa, saya di USG sepersekian detik.
“Sudah
lewat waktu, kita induksi saja”, kata si dokter masih menuliskan sesuatu di
catatan rekam medis. Dengan tak menatap wajah dengan pasiennya sama sekali,
saya keluar ruangan dengan membawa selembar surat perintah rawat inap dan
instruksi untuk menghubungi bagian administrasi untuk mencari kamar.
Kebingungan,
tentu saja. Diinduksi sakitnya luar biasa, kata orang-orang. Maka, saya dan
suami menelpon kesana kemari meminta pendapat keluarga, Semua orang panik,
bertanya kenapa harus diinduksi. Semua orang menyarankan jangan sampai diinduksi.
Begitulah,
akhirnya saya memutuskan pulang, lalu tidur siang dengan nyenyak. Sampai saya
mendapatkan telepon. “Ibu Rika dimana
sekarang?.” Seseorang berbicara di seberang sana. Sepertinya seorang juru rawat.
Saya beralasan saya pulang ke rumah sementara menunggu keluarga datang dari
luar kota. “Baik ibu, nanti kalau sudah siap, langsung ke rumah sakit dan masuk
kamar ya. Kamarnya sudah siap”.
Tapi
saya gak berniat kembali. Tidak untuk di induksi oleh dokter B. Sudah
diputuskan, saya hanya akan mengikuti instruksi dokter A. Menunggu hingga
tanggal 30 Desember saya, jika belum lahir, saya akan kembali kontrol. Kali itu rasanya lebih
menegangkan. Jangan-jangan dokter A juga akan menyuruh saya segera diinduksi.
Bergidik bulu roma. Tapi membayangkan di Caesar juga tak kalah menegangkan.
Namun
dokter A mengatakan saya bisa menunggu, setidaknya sampai tanggal 6 januari.
Menunggu hingga 42 minggu. Jumlah minggu
paling maksimal dalam kategori normal.
Segala
cara saya lakukan. Rajin-rajin jalan kaki, banyak jongkok dan sujud, making love, makan durian, makan nanas, makan kambing.
Apapun yang disarankan google sebagai
induksi alami.
Setelah
drama si dedek yang tak kunjung lahir ini, akhirnya hari senin, tanggal 4
januari, mulai muncul bercak coklat, namun saya tak merasakan mulas atau
kontraksi. Hingga selasa subuh, bercak coklat sudah berganti merah. Langsung
subuh-subuh ke IGD rumah sakit. Eh di cek masih pembukaan 1, dan disuruh pulang
ke rumah dulu. Drama bolak balik ke rumah sakit ini sampai 3 kali, sakit kontraksinya udah stabil tiap 15
menit, tapi durasinya cuma sebentar dan rasa sakitnya konstan. Sore, ketiga
kalinya ke rumah sakit, Dokter jaga IGD
nya bilang masih pembukaan 2. “ Biasanya sekitar 6 jam lagi, baru mencapai
pembukaan 4”, maka saya pulang lagi ke rumah.
Magrib,
selesai adzan, rasa sakitnya meningkat tajam. Parameternya: saya sudah sampai
berteriak. Begitu selesai magrib, saya segera diboyong ke rumah sakit. Masih
ketemu dokter jaga yang sama. Dan doi kaget “Sudah bukaan 7-8”. Juru rawat IGD
malah berkomentar : “Kok telat banget ke rumah sakitnya”.
Saya
segera dibawa ke ruang bersalin, sementara suami mencari ruang rawat. Yang
sudah pernah melahirkan sudah tentu tahu intensitas sakit yang terus bertambah
menjelang kelahiran. Kontraksi, saya
menggigil kedinginan, dan saya demam.
Sampai
di ruang bersalin, diperiksa bidan, ternyata masih bukaan 2-3. Dan yang lebih
mengejutkan air ketuban saya sudah hijau, yang berarti ketuban saya sudah
bocor. Melihat catatan rekam medis saya, bidan nya menyadari kalau saya adalah
pasien yang dulu sempat mau diinduksi tapi ditungguin gak datang-datang. Lalu
saya ditanyain mau ditangani oleh dokter A atau dokter B. Jelas saya pilih dokter A. Terdengar bidannya
menelpon si dokter. Mengingat saya ada riwayat asma, kondisi badan demam,
ketuban yang sudah bocor, masih pembukaan 3, dan sudah 42 minggu. Saya disuruh
puasa sembari diobservasi. Tentunya
sambil menunggu dokter A yang sedang praktek rawat jalan, dan biasanya selesai
kira-kira jam 10 malam. Ada kemungkinan untuk operasi Caesar.
Kembali
saya tegaskan tak ada kata-kata tepat untuk mendeskripsikan rasa sakit
menjelang melahirkan. Masalahnya, selama merasakan sakit tersebut, kita hanya
dibiarkan. Semakin sakit, bukaannya
semakin besar. Dan si bidan Cuma bilang “ Ibu jangan teriak-teriak. Ayo tarik
napas, lalu hembuskan.”
Kira-kira
pukul 10 malam, belum ada tanda-tanda kedatangan dokter A. Si bidan kembali
memeriksa denyut jantung dedeknya.
Somehow, gak ketemu. Eh begitu dicek, saya sudah bukaan 9-10. Saya segera
disuruh minum. “Bisa lahiran normal kok ini”,
komentar si bidan. And the rest of it become easier.
Mertua
yang sedang menunggu di luar bilang, begitu dokter A sampai, terdengar tangisan
anak saya. Jadi dokter A Cuma kebagian mengeluarkan sisa plasenta dan bagian
jahit-menjahit.
So this is it
A Bless in early year.
Welcom to the world,
Amni Aini Sophia
Samarinda, Januari 2016
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation