Sebuah Usaha Pertama yang Gagal

Sebuah Usaha Pertama yang Gagal

Jadi, sekitar awal tahun 2015 lalu, saya berniat menjalankan usaha yang agak serius. Means ada bangunan atau toko offline nya.   Akhirnya setelah ngobrol-ngobrol dengan seorang teman, dan melihat kenyataan bahwa hanya ada satu toko buku di sini, dengan harga yang kalau dibandingkan harga di toko yang sama di Jakarta bedanya berkisar 10 rb- 30 rb.  Maka terbesitlah ide membuat toko buku online (yang harapannya bisa saya intergrasikan dengan cafĂ©)  offline.

Rencana awal yang indah. Memang.

Barangkali, saya terlalu terpesona oleh konsep-konsep bisnis yang banyak diusung anak muda kini. Saya hanya melihat bagian luar, bahwa tiap bisnis yang berhasil, harus punya konsep yang unik. Saya lupa memikirkan bahwa ada sekian banyak angka yang harus dikalkulasikan agar bisnis tersebut terus berjalan dan meraup untung.

Saya melihat bisnis toko buku di kota ini sebagai ceruk (niche). Mulailah saya memikirkan nama, tagline, tujuan, visi dan misi usaha yang hendak saya geluti. Namun saya lupa menganalisis hal yang tak kalah penting dalam bisnis:  supply chain, BEP, dan hal-hal yang berbau angka.  Kelupaan saya memikirkan hal-hal terakhir ini yang juga barangkali menjadi barrier kenapa tak ada pemain bisnis buku di kota ini.
Setelah membuat logo, bikin berbagai akun di socmed, dan sempat berencana  membuat website resmi (yang domainnya sudah saya beli, namun hingga kini terbengkalai).  Mengapa tak saya selesaikan website nya? Belakangan setelah saya cermati, membuat website untuk toko online artinya jangkauan pasar saya menjadi lebih luas, hingga ke seluruh Indonesia.  Namun artinya saya juga harus bersaing dengan toko buku online lainnya yang lebih professional, koleksi bukunya lebih lengkap, atau telah bekerja sama dengan penerbit-penerbit dalam memasarkan buku (biasanya akan tertulis keterangan ‘Stok di gudang penerbit’) dan menawarkan begitu banyak diskon.  Saya akan kalah soal harga dan ongkos kirim, karena domisili saya di Kalimantan Timur.

Baiklah, kalau misalnya saya fokus ke pelanggan yang ada di Pulau Kalimantan. Rasa-rasanya dalam beberapa bulan menjalani usaha ini, saya tak melihat gejala antusiasme besar dengan jumlah customer banyak.  Siapa yang mau menghabiskan uang banyak untuk beberapa lembar buku ?. Saya sendiri sebagai penyuka kegiatan membaca, masih mempertimbangkan berkali-kali apabila harga buku yang ingin dibeli lebih mahal dari pakaian yang saya pakai.

Hingga kini, pembeli buku-buku saya  justru lebih banyak dari luar Kalimantan, terutama Pulau Jawa dan Sulawesi. Pernah juga sekali waktu saya mengirimkan buku hingga Pulau Sumatra, yang mana harga bukunya hampir sama dengan ongkos kirim.

Lalu seiring berjalannya waktu, saya kembali menemukan masalah. Cukup besar dan tak terpecahkan. Yap, masalah stok buku. Bisa saja saya kulakan buku bekas dengan harga murah dari pedagang buku di Blok M atau Senen. Ya, pernah sekali waktu saya lakukan. Ternyata yang jadi masalah adalah ongkos kirim. Karena kiriman barang tersebut masih kategori eceran (dibawah 50 kg), maka saya hanya punya pilihan kurir pengiriman JNE, Tiki, Wahana, atau Pos. Dan diakali bagaimanapun ongkosnya tetap terhitung mahal.

Begitulah that was my failed start up. Walaupun sebenarnya gak gagal-gagal amat. Cuma memang poinnya bukan pada keuntungan. Saya menganggap usaha yang pertama ini adalah bisnis berbasis hobi.  Saya akan tetap jualan buku, namun saya membeli buku bukan untuk niat berjualan.  Tinggal di Kalimantan membuat hobi saya membaca buku seakan terhambat. Harga buku-buku baru lebih mahal (dan tidak lengkap), tak ada pameran buku seheboh yang biasa saya datangi di Istora Senayan, dan tak ada surga kulakan buku bekas seperti di Blok M.  Jadinya sekarang  saya beli buku yang saya inginkan (bukan yang customer inginkan), dan saya jual buku yang ingin saya jual. Saya dapatkan dua kepuasan. Pertama, puas membaca buku. Dan setelah jadi pedagang jadi-jadian begini, saya merasa ada kepuasan kalau bisa jualan barang. Pun uang masih bisa diputar dan dibelikan buku lagi.

Sampai detik ini pun saya masih bertransaksi jual beli buku. Masih berpromosi di media sosial, dan belakangan saya lebih nyaman bertransaksi di bukalapak.com.  Gak riweh, gak mengalami tanya jawab dengan customer cerewet banget, habis pulsa kalau nanya nya via SMS, nawar gak karuan (padahal harga buku bekas juga under 50K), minta rekening bank tertentu (padahal buat transaksi online saya cuma satu akun rekening), capek menghitung ongkos kirim, dan (sering)  ujung-ujungnya batal belanja.

berjualan online lewat toko buku online
Hasil jerih payah yang tidak seberapa

Begitulah cerita kegagalan yang saya rasa harus saya bagikan.  Mudah-mudahan lain kali saya bisa bercerita dan berbagi soal kesuksesan usaha saya.

Oke, mari merancang bisnis (yang lebih baik) di tahun depan.

Wish  me luck!


Samarinda, November 2015 

Post a Comment

3 Comments

  1. Wahhh pengalaman yang campur aduk Mak. Thanks for share :D

    ReplyDelete
  2. Terima kasih telah mampir ke blog saya.

    Ayo terus semangat mak-mak :D

    ReplyDelete
  3. jatuh bangun dalam menjalankan usaha itu wajar :)
    yak, semog asukses di 2016. bikin resolusi sebaik mungkin!

    ReplyDelete

thanks for your comment.

will be shown after moderation