Menatap Birunya Langit

Menatap Birunya Langit

Ketika masih muda, kita pasti pernah mendongak ke atas, menatap langit dan lalu menerka-nerka seberapa banyak misteri yang ada di dunia. menerka-nerka akankah kita mampu menaklukan dunia. bertanya-tanya  kapankah tiba saat untuk menaklukan dunia.

Perlahan menerobos kehidupan. Ada kalanya kegagalan datang, mimpi hancur, dan mata hanya bisa terkulai menatap ke bawah. Menatap tanah, tempat dimana manusia akan kembali, tempat dimana jasad hanya akan jadi santapan belatung.

Dan adalah dunia dengan fatamorgananya yang menyilaukan, memaksa manusia untuk terus memandang ke depan, terpukau, dan melupakan dunia di atas maupun di bawahnya. jangankan untuk menatap dan merenungi, bahkan mengingatpun rasanya tak sudi.

Apa yang dapat ditawarkan dunia saat ini ? , yang terselimuti kebohongan, yang terkamuflase kenyamanan semu, dan akhirnya memaksa manusia menyesal di ujung hidupnya.

Saya hanya takut kelak akan menjadi manusia seperti itu
lupa akan langit, lupa akan tanah.

Saya tak ingin suatu saat saya lupa,
Ketika kecil saya terkonyol-konyol menghitung bintang
Saya terbayang-banyang pangeran yang hidup di bulan.
Tersepoi-sepoi angin laut yang membawakan senja keemasan di setiap sore pada masa kecil saya
Hujan yang turun saya tatap dengan mulut ternganga bagai melihat sirkus.
Rintik-rintik hujan yang selalu berusaha saya genggam
Angin subuh yang selalu membawakn harum susu hangat dari dapur ibu
dan segala bayang-bayang yang dihadirkan semesta untuk saya.

Saat itu saya ingin cepat-cepat dewasa
menikmati keindahan dunia, dan menyibak semua sensasi indah
menyibak seberapa banyak bintang
seberapa luas lautan
seberapa hebat angin pagi
seberapa banyak rintik hujan yang akan turun

Rupanya,
Ketika telah dewasa
Langit  saya lupakan
Senja selalu terlewatkan di tengah keramaian
Bintang tak lagi saya hiraukan
Hujan pun hanya merepotkan

Saya tak lagi menghiraukan hidup yang ingin saya ungkap
Menjadi dewasa terkadang amat menakutkan
bersikap egois dan memperebutkan... bukan mainan lagi, bukan rintik hujan lagi, bukan susu buatan ibu, bukan kasih sayang kakak, bukan pelukan hangat ayah.
Tapi hal-hal semu yang jauh lebih merepotkan :
pasangan
kedudukan
uang
pamor
nilai ujian
pekerjaan
jabatan
menatap birunya langit di pantai depok




Yogyakarta. 2 Juli 2008

Post a Comment

0 Comments