Imunitas

Imunitas



Pada suatu masa, ketika masih kuliah, saya ingat, saya pernah berbicara pada seorang kawan dekat.. Pada saat itu, saya sedang menderita sakit, sehingga harus sering kontrol ke RS Sardjito, Yogyakarta. Saya bilang pada teman saya “Kalau kau ingin bersyukur, datanglah ke rumah sakit. Ada banyak orang yang lebih tidak beruntung”. Tak hanya sekali, saya ingat beberapa kali saya  mengatakan dan menekankan hal tersebut pada kawan saya, terutama saat ia mengeluh soal hidup. Pada saat itu ada terpercik keinginan, untuk bekerja di rumah sakit. Sebuah usaha bertahan hidup sekaligus menabung amal untuk akhirat.
Bertahun-tahun kemudian, saya terlempar, bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah. Mengabdikan diri. Kadangkala, saat perjalanan menuju rumah sakit, saatu rutinitas dan tekanan pekerjaan malah membentengi diri dari keinginan beribadah. Saya berusaha mengingat omongan saya bertahun-tahun silam tersebut. Apa Tuhan memberi kesempatan saya bekerja di rumah sakit ini agar saya setiap hari bersyukur?.
Dua tahun berlalu, keterbiasaan kerap membuat seseorang menjadi lebih kuat. Keterbiasaan menderita, keterbiasaan bekerja keras, keterbiasaan menghadapi sakit. Manusia punya daya adaptasi sangat-sangat baik, kalau belum bisa dikatakan terbaik, dibandingkan makhluk hidup lainnya di muka bumi ini. Self depend; imunitas bisa terbentuk dari paparan yang terus-menerus.
Mungkin itulah yang terjadi pada saya. Luka, kematian, darah, tangis. Semua normal dalam lingkungan rumah sakit. Saya pernah dengan enteng menikmati makan siang, di dalam gedung Instalasi Bedah Sentral, sambil menghirup bau daging hangus. Iya, sedang ada operasi di sebuah kamar yang pintunya terbuka dan tak jauh dari bagian farmasi.
Hampir setiap hari saya dengan enteng berjalan di ruang IGD yang hiruk pikuk, diantara rintihan kesakitan pasien dan tangisan beberapa keluarga yang menunggu. Saya? sedang sibuk twitteran. Bahkan di ruang resusitasi, saya bisa bicara santai ngalor-ngidur dengan perawat, sedangkan ada pasien dengan batok kepala nyaris pecah, darah berceceran, bernafas menggunakan breathing system.
Saat saya mondar-mandir dengan enteng melewat jenasah di IGD yang belum sempat di pindah ke ruang jenazah. Atau melihat pasien, kadang sambil what’s app-an, yang sedang di resusitasi jantung paru oleh dokter dan perawat.

Saya pun menikmati joke-joke khas rumah sakit. “Loh pasiennya gak jadi meninggal toh?”. “ Ini pasiennya jadi meninggal atau gak sih?”.
Sore hari, saya berjalan santai berkeliaran di ruangan ICCU, di saat jam mandi sore, dimana perawat-perawat sibuk memandikan pasien. Lebih parah, saya pernah hanya bertiga di ruangan NICU. Satu orang pasien, seorang ibu, dan satu lagi mayat anak si ibu.  Si anak baru diambil nyawanya oleh malaikat. Si ibu sedang membacakan yaasiin. Lirih, syahdu, dan sedih. Saya? Cuek dan terus sibuk dengan pekerjaan saya.
Dulu, melihat orang diinfus atau kesakitan saja, rasanya ngilu dan bergidik. Paparan terus-menerus membuat diri saya membentuk suatu imunitas.
Lalu setelah menjadi imun begini, adakah lagi dari esensi pekerjaan yang saya cari? Mencari sesuatu yang akan membuat saya belajar?. Bukankah bekerja merupakan bagian terbesar dari proses belaja?

Post a Comment

0 Comments