Mungkin hanya segelintir dosen yang punya pengalaman menarik
didatangi orangtua mahasiswa sampai ke rumah dan tempat lainnya karena anaknya
disarankan (bukan disuruh ya) untuk mengulang satu mata kuliah.
Well, pengalaman menarik ini saya alami
beberapa hari yang lalu. Karena masih saja mengganjal di kepala, akhirnya pagi
ini saya memutuskan untuk menulis.
Supaya lega. Supaya jadi pengingat, setidaknya untuk diri sendiri.
Jadi
ceritanya mahasiswa ini memang sudah sebulan konsultasi dengan saya untuk
skripsi. Tapi tiap konsultasi, doi tidak pernah mempersiapkan diri dengan ilmu/daftar
bacaan ilmiah.
Pertama
kali ketemu, doi ingin meneliti ekstrak tanaman untuk luka bakar. Sudah ada
penelitian seperti itu dengan menggunakan tikus, lalu doi ganti dengan
mencit. Lah apa urgensinya mengganti
hewan uji?
Kedua
datang lagi, mau ganti penelitian. Ekstrak daun jambu biji untuk mengatasi
kerontokan. Saya tanya: kamu dapat referensi dari mana? Doi jawab: kemarin saya
liat di instagram bu”. Saya speechless.
Lalu
saya tanya lagi, metodenya seperti apa untuk mengukur efektivitasnya. Doi
clueless. Kemudian buka hape, searching google, muncul di halaman pertama
kompas.com. doi buka, doi baca. Saya
sudah berbisik pada diri sendiri, ini anak bakal tersesat. Tapi terus supaya
gak rude, saya cuma bilang “ kamu
pelajari lagi, cari referensi yang benar, bikin proposalnya. Kalau ada
referensinya bisa aja sih”.
ILustrasi Helicopter Parent (source) |
Then, seminggu
yang lalu doi baru pertama kali memasukkan proposal. Kemudian setelah
menyerahkan proposal, doi WA saya untuk dikoreksi segera. Ya sudah, pagi itu
saya koreksi. Dan apa yang saya dapati?. Begitu melihat daftar pustaka :
tribunnews.com, merdeka.com, hingga blogspot.com. Referensi-referensi luar
biasa, yang membuat saya 100% yakin isi proposal ini ngawur. Judulnya ? salah. Penulisan bahasa asing? Salah. Penulisan dapus dan
sumber? Salah. Perumusan masalah? Salah.
Tujuan penelitian? Salah. 90% totally wrong.
Sebuah
pilihan yang salah untuk memeriksa proposal itu pagi-pagi. Seketika saya
badmood. Kemudian saya chat WA doi, untuk mengulang mata kuliah metode
penelitian. Dari proposal itu kelihatan kalau doi belum memahami kaidah ilmiah
dan cara penulisan proposal. Sesuatu yang sangat dasar.
Lalu
apa yang terjadi kemudian?. Siangnya , doi datang beserta orangtuanya ke
kampus. Berhubung saya sedang tidak di kampus, doi ke rumah (tanpa konfirmasi).
Padahal saya juga sedang tidak di rumah. Saat itu saya sedang di apotek, ya udah saya minta ke
apotek.
Ortunya
ngomong baik-baik sih. Jadi ortunya khawatir, kalau disuruh mengulang mata
kuliah, nanti anaknya telat lulus. Somehow
(di dalam hati) saya bingung, bukankah cepat atau lambatnya seseorang itu lulus
kuliah, tergantung dari kegigihan mahasiswa tersebut?. Dan mata kuliah metode
penelitian itu ditawarkan semester ini, jadi sebenarnya mahasiswa tetap bisa
kuliah sambil mengerjakan skripsi.
Namun
satu hal yang paling mengganjal, kenapa harus orangtuanya yang langsung
bertanya ke dosennya?. Datang ke rumah dosen seolah-olah ingin melabrak si
dosen ? Kenapa bukan si mahasiswa sendiri yang bertanya?. Berhubung saya sekarang sudah menjadi ibu,
saya tahu mendidik anak itu bukan hal mudah. Ada istilah helicopter parent.
Orangtua yang terus-terusan mengawasi anaknya.
Anaknya yang salah, orangtuanya yang minta maaf. Anaknya yang sarankan
untuk belajar lagi, gurunya yang ditanyain. Seharusnya anaknya donk ditanyain,
kenapa kamu sampai harus mengulang?, seberapa rajin anak itu belajar di rumah?.
Logika-logika yang masih berseliweran di
kepala saya hingga pagi ini. Logika-logika yang harus saya ingat terus
sepanjang kewajiban saya sebagai orangtua. Karena tugas orangtua itu mempersiapkan
anak untuk mandiri. Ada saatnya orangtua
membatasi diri untuk ikut campur masalah yang dihadapi si anak. Biarkan anak
menjalani garis hidupnya sendiri.
Samarinda, Maret 2019
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation