Pengalaman Melahirkan Anak Kedua dengan Operasi Caesar

Pengalaman Melahirkan Anak Kedua dengan Operasi Caesar



Jadi, kelahiran anak kedua kali ini saya harus melalui operasi Caesar. Cukup unpredictable, mengingat selama kehamilan, dari awal hingga akhir, kondisi kehamilan saya bisa dikatakan baik-baik saja. Ketuban cukup, di usia kehamilan 32 minggu posisi kepala janin sudah berada di bawah, dan di  kehamilan 36 minggu, posisi kepala sudah masuk panggul, posisi placenta pun bagus dan tidak menghalangi jalan lahir, pertumbuhan bayi oke, dengan Berat badan sekitar 3 kg, BB yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.

Tapi ya, apa mau dikata. Manusia memang cuma bisa berencana. HPL anak kedua ini sekitar akhir Agustus atau awal September. Namun feeling saya mengatakan lebih cepat dari perkiraan. Dan feeling ibu memang yang paling mendekati kenyataan.

Tanggal 22 Agustus, tepat hari raya idul adha, subuh hari menjelang adzan subuh, saya merasa ada sesuatu yang keluar dari jalan lahir. Memang semalaman rasanya perut saya mules kayak mau menstruasi Beberapa hari belakangan, lendir seperti keputihan juga semakin banyak. Cuma belum laporan ke suami, karena merasa masih jauh dan saya sedang di rumah mertua. 

Singkat cerita, subuh itu saya mendapati bercak darah sudah keluar. Alhasil bubar jalan rencana sholat Ied.  Saya lalu  buru-buru pulang ke rumah, ambil peralatan melahirkan, ke faskes 1 untuk minta rujukan, lalu ke rumah sakit.

Saya masih tenang-tenang saja, karena sakitnya masih bisa ditahan.  Cek di IGD RS (karena hari libur, polikliniknya tutup), ternyata masih bukaan 1-2. Dokter IGD konsul ke dokter obsgyn, dan saya disuruh pulang dulu.

Saya pulang ke rumah bersama suami, sementara Amni dititipkan di rumah mertua. Lebaran Idul Adha yang dilewati dengan santai sekaligus harap-harap cemas. Gak tahu kenapa, saya merasa saya cukup kelelahan. Sementara saya harus menyimpan cukup banyak energi, mengingat melahirkan membutuhkan kondisi prima.  Saya lebih banyarak tidur miring ke kiri ketimbang jalan-jalan. Malamnya, saya merasa ada cairan keluar yang bukan air seni.  Saya sudah curiga air yang keluar adalah air ketuban yang rembes. Tapi karena sudah malam, sakitnya juga belum nambah, yang kemungkinan pembukaannya juga belum nambah. Saya menunda, mending sekalian besok pagi saja ke rumah sakit.

Esoknya, 23 Agustus 2018, pukul 6 pagi, saya ke rumah sakit.  Dengan pede nya tas melahirkan malah gak dibawa, karena takut disuruh pulang lagi.
Sampai di RS, masuk IGD lagi, cek bukaan, sudah bukaan 2-3. Proses yang cukup lama, hampir 24 jam, Cuma nambah satu bukaan. Padahal katanya kalau anak kedua, proses lahirannya bisa lebih cepat. Perasaan saya sudah mulai gak enak. Ketakutan mengintai, entah itu di induksi atau operasi Caesar.

Mengingat melahirkan anak pertama dengan proses melahirkan normal tanpa induksi saja, rasa sakitnya membuat bergidik.
Saya bilang ke bidannya, kalau ada yang rembes. Setelah dicek dengan kertas lakmus, ternyata positif air ketuban. Sayangnya, dokter Anggit Nugroho, obsgyn langganan yang saya biasa kontrol sedang keluar kota, sehingga saya ditangani dokter obsgyn pengganti.

Saya diminta USG ulang oleh dokter yang bersangkutan, ternyata di beberapa bagian air ketuban sudah berkurang banyak. Di sini saya sedikit menyesal kenapa gak dari tadi malam saya ke rumah sakit. Lewat USG juga keliatan kalau anak saya terlilit tali pusar.

Jadi dengan kondisi ketuban yang sudah rembes dan berkurang banyak, masih pembukaan 2, posisi kepala janin posterior, dan saya punya riwayat asma yang tidak memungkinkan untuk diinduksi dini (induksi saat pembukaan masih kecil),  kemungkinan terburuknya ya operasi Caesar.

Tapi dokternya masih mau menunggu. Observasi lagi selama 4 jam, sambil cek terus denyut jantung dan gerakan bayi di CTG. Saya juga diharuskan bedrest total, bahkan tidak boleh ke kamar mandi, dan buang air hanya di pispot. Bedrest ini untuk mencegah air ketubannya rembes terus.

Observasi dilakukan di kamar bersalin. Saya masuk kamar bersalin sekitar pukul 10 pagi. Frekuensi dan durasi sakit tidak bertambah. Di sini saya mulai berdoa agar gelombang cinta itu datang. Sakit yang mebuat saya ketakutan dan bergidik itu agar segera datang. Gak apa-apa sakit, karena tentu lebih baik melahirkan secara normal ketimbang Operasi Caesar.

Hasil tes CTG menunjukkan kalau janin saya lebih banyak diam dan tidak banyak bergerak. Memang, setelah muncul bercak darah tanggal 22 Agustus kemarin, gerakan janin saya malah berkurang.
Tapi saya masih berdoa, 4 jam waktu yang cukup untuk menambah bukaan. Saya masih terus baring menghadap ke kiri, tanpa jalan-jalan. Dan semoga masih bisa melahirkan normal.

Pukul 2 siang, saya cek lagi bukaan. Ternyata masih sama, posisi mulut rahim masih jauh. Tes CTG lagi. Hasil CTG masih menunjukkan gerakan janin yang lebih banyak diam.  Bidannya kemudian menelpon dokter obsgyn. Saya sudah wanti-wanti akan di operasi. Benar saja, tak lama setelah menelpon dokter obsgyn, bidan menemui saya dan memanggil suami untuk meminta persetujuan dilakukan operasi.

Sebenarnya masih bisa menunggu, tapi resikonya cukup tinggi.  Gerakan bayi yang lebih banyak diam dan air ketuban yang semakin sedikit.  Apa mau dikata, no other choice.  Ini yang terbaik buat saya dan calon anak kami.  Kami setuju untuk operasi Caesar.  Bidan jaga kemudian menelpon lagi dokter obsgyn, dan memberitahu kalau operasi di jadwalkan pukul 17.00
Saya disuruh siap-siap. Ganti baju operasi, puasa, dan cukup rambut kemaluan. Pukul 16.00, saya didorong ke ruang operasi, tapi belum masuk kamar operasi. Sebelum operasi, sampel darah saya diambil lagi oleh petugas laboratorium. Kemudian ada sedikit briefing bergantian dari perawat OK, dokter anestesi,dan dokter obsgynnya mengenai operasi yang akan dilakukan, durasi, resiko, dsb kepada saya dan suami. 

Dokter obsgyn nya sampai bicara ke saya dan suami : “mudah-mudahan nanti sewaktu keluar, bayi nya langsung menangis ya pak bu”. 
Sebenarnya saya ingin suami ikut ke ruang operasi. Tapi sebelum saya masuk kamar operasi aja suami sudah menangis dan ketakutan.  Kalau masuk ruang operasi mungkin dia bisa pingsan.
Jadi ya sudah, tidak ada adegan foto memoto dan suami yang menamani istri seperti di kebanyakan video operasi Caesar.

Anak kedua Bhumi Airlanggga
Anak kedua kami : Bhumi Airlangga



Selama di kamar operasi, saya menggigil karena kedingingan dan ketakutan. Ini pertama kalinya saya  dioperasi. Meskipun dulu sempat kerja dua tahun sebagai clinical specialist di perusahaan distributor alat kesehatan, yang mana saya kerjaannya ikut operasi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain di beberapa kota di Indonesia. Tapi kalau diri sendiri yang di operasi, ketakutannya berbeda. Bisa jadi karena saya bisa membayangkan apa yang dilakukan dokter dan perawat kepada saya selama di kamar operasi. Begitu saya yang dianestesi, saya membayangkan jarumnya masuk disela sela tulang punggung saya, seperti yang ssebelumnya pernah saya lihat hingga berpuluh-puluh kali.  Membayangkan pisau ditorehkan ke tubuh saya, seperti yang sudah pernah saya lihat. Dan membayangkan prosedur operasi Caesar sepenuhnya seperti yang pernah saya tonton videonya di youtube ketika hamil.

Alhamdulillah, pada pukul 17.16, anak saya yang kedua lahir. Perasaan lega pertama kali muncul saat mendengar ia menangis. Dan kedua kalinya lega sekaligus terharu, setelah anak saya dibersihkan lalu didekatkan ia ke wajah saya. It was an incredible feeling.

Operasi caesarnya sendiri berlangsung selama 1 jam. Pukul 18.00 operasi selesai dan saya dibawa keluar kamar operasi namun masih di ruangan operasi untuk diobservasi selama lebih kurang 2  jam. 
Memang benar kata orang, operasi caesar itu enak di awal, sengsara di akhir, kebalikan dengan proses melahirkan secara normal.

Dua jam setelah operasi Caesar efek obat bius mulai menghilang. Sakit itu dimulai ketika saya dipindahkan ranjang, dimana saya harus angkat kepala, dan itu rasanya sakit. Sampai ruang perawatan, saya diberi makan bubur sumsum hangat.

Semalaman saya gak bisa tidur. Begini rasanya operasi Caesar. Mengingat proses kelahiran anak pertama melalui persallnan normal tanpa induksi, bisa saya katakan rasa sakit setelah operasi Caesar ini lebih mengerikan.  Sakit saat menghadapi pembukaan demi pembukaan di kelahiran normal tetap saja masih bisa berteriak-teriak. Namun sakit setelah operasi Caesar ini seolah sakit yang membuat tak berdaya. Semalaman, saya rasanya sangat lemas, bahkan untuk mengambil cangkir air minum pun tak mampu. Belum lagi sakit bekas sayatan operasi, yang saking tak berdayanya, saya hanya bisa meneteskan air mata.

.Paginya, dua belas jam setelah operasi, kaki saya baru bisa digerakkan. Dan perjuangan yang sebenarnya dimulai, sampai 3 hari ke depan. Tapi hari pertama ini memang yang paling sukar sih. Belajar miring kanan miring kiri, duduk, dan jalan. Saya baru bisa belajar jalan setelah kateter di lepas, kira-kira 24 jam setelah operasi. Itupun harus dipapah dan ditemani.

Ternyata setelah berbagi pengalaman sesame teman yang juga melahirkan dengan operasi Caesar, ya the worst part belajar menggerakkan tubuh setelah operasi sembari menahan sakit luka setelah operasi. Sebab mau gak mau sebagai ibu harus sehat, terus bergerak, dan kuat. Bahkan menuliskan pengalaman begini  saja, perut saya terasa ngilu.

No wonder,  saya kini memahami banyak banget ibu-ibu pejuang Vagina Birth After Caesar (VBAC). Karena memang melahirkan normal itu ternyata jauh lebih nyaman ketimbang  Operasi Caesar.

The positive side. Setelah operasi pukul 5 sore, saya baru bisa miring pagi hari, sehingg IMD nya 
saya lakukan sekitar jam 10 pagi. Syukurnya ASI saya langsung keluar, dan si Adek juga bisa langung nenen. Naluri pertama seorang manusia ketika lahir ke dunia : sucking!.

Hari sabtu siang, 25 Agustus, setelah perban diganti dengan plester tahan air saya diperbolehkan pulang.  Saya diberi antibiotik cefadroxil dan penahan rasa sakit Asam Mefenamat. Untuk mempercepat proses penyembuhan luka, saya juga minum VIP albumin, yang isinya ekstrak ikan gabus. Di pasaran, banyak juga sih merek lain, yang penting isinya sama, ekstrak ikan gabus. Protein tinggi memang dianjurkan untuk mempercepat proses penyembuhan luka.

Satu minggu kemudian, saat kontrol ke obsgyn, plester penutup luka dilepas. Lukanya mulai mengering, dan dibiarkan terbuka begitu saja.

Sekarang Alhamdulillah kondisi saya sudah  jauh lebih baik.  Semoga sehat-sehat terus.

Aamiin.


Samarinda, September 2018

Post a Comment

2 Comments

  1. Halo mba, mau tanya. Jadinya melahirkan dimana dan jadi ditangani sama dokter siapa ya? Saya ini di Samarinda, masih bingung mau lahiran dimana jd minta masukannya ehheheee terimakasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mbak Astrid.

      Di posting ini sdh sy ceritakan kok saya melahirkan dimana. Kalau mau lahiran dimana, sy rasa yg perlu dipertimbakan : 1. jauh dekat dengan rumah 2. Asuransi yang digunakan/budget yang tersedia 3. Dokter/nakes yang membantu 4.kondisi kehamilan (misal kalau harus caesar maka melahirkan harus di RS).

      Saya g bisa kasih yang spesifik karena kondisi tiap orang kan beda2. Mungkin 4 faktor tsb bs jadi pertimbangan penting dalam memutuskan melahirkan dimana. tks

      Delete

thanks for your comment.

will be shown after moderation