Tujuh Belas Agustus
lalu saya memerdekakan diri dari perihal mengontrak rumah. Dan kemudian
terjajah lima belas tahun oleh bunga bank. Hahahaha *ketawa miris.
Awal tahun 2015 lalu
saya juga pindahan. Dari Jakarta ke Samarinda. Meski dulu hanya tinggal dalam
sepetak kamar kecil. Pindahan tetap membawa kebingungan mengenai bagaimana cara
membawa serta barang-barang ikut pindah pulau. Motor saya jual. Dan ada begitu banyak barang
pritilan, yang dijual gak laku, dibuang mubazir, dibawa ke Kalimantan gak
sebanding dengan ongkosnya. Akhirnya
saya berikan kepada teman dan pemulung.
Pindahan kali ini masih dalam satu kota, namun yang namanya
pindahan, selain membawa gairah dan kecemasan karena akan berhadapan dengan
lingkungan baru, tentu saja membawa kerepotan.
Setelah berumah tangga, yang usianya belum genap 2 tahun, yang
saya (rasanya) jarang-jarang belanja barang, ternyata perlu berkali-kali bolak
balik bawa barang.
Dari berkardus-kardus
barang yang diangkut, kuota barang paling banyak masih di pakaian dan buku.
Kalau buku wajar, karena saya dagang buku. Tapi kalau baju, rasa-rasanya sudah
jarang banget belanja baju atau produk fashion. Tiap mau pergi-pergi, saya
kebingungan milih baju yang mana. Baju
yang dipakai kok itu-itu aja? Saya adalah orang yang memikirkan mau pakai baju
apa baru saya ambil di lemari, bukan orang yang melihat ke lemari kemudian
mikir mau pakai baju apa. Karena saya
hanya mampu mengingat beberapa lembar pakaian saja. Maka dari 50 lembar pakaian
yang ada di lemari, yang saya pakai dalam satu bulan paling hanya 20 lembar,
yang dicuci-setrika pakai-cuci-setrika-pakai.
PIndahan cuma bertiga: saya, suami, dan anak yang berusia 7
bulan, mau gak mau porsi terbesar beres-beres dan bongkar-bongkar ada pada Si
Emak. Bongkar sana sini, ketemu lagi
dengan barang-barang dijual gak laku, dibuang mubazir, digunakan udah gak
pernah lagi. Sambil menahan nyeri sakit pinggang dan memandangi barang-barang
yang berantakan luar biasa, saya jadi memikirkan untuk hidup lebih simpel. Toh
dari 100% barang yang sama miliki, paling 40% yang digunakan sehari-hari, 30%
digunakan pada saat tertentu, dan sisanya 30% hanya Tuhan yang tahu kapan saya
gunakan lagi.
Kalau
kata sebuah quote “ you don’t need more space,
you just need to reduce the things”. Kalau benar-benar memprioritaskan barang dari
nilau guna dan urgensi keperluan, pasti
saya dan teman-teman semua gak akan
punya barang banyak hanya untuk sekedar bertahan hidup. Apalagi rumah baru saya
hanya selebaran dapur rumah orangtua dulu.
Semoga kebaikan selalu menyertai tempat tinggal kami |
Agenda
minggu ini, saya akan mensortir lagi barang-barang yang bisa dilelang, dan mana
barang yang bisa disedekahkan. Semakin sedikit barang yang kita miliki, rasanya
memang semakin lega. Ibarat perut yang
sebah, kalau udah dikeluarin, rasanya
benar-benar lega. Badan dan hidup terasa
lebih enteng :)
Yuk
mari hidup simple/sederhana/secukupnya.
· -
Kurangi barang yang sudah tidak digunakan. Bisa
dijual lagi atau diberikan kepada orang lain
· - Beli barang yang
kira-kira memang dibutuhkan. Godaan belanja ini sih yang bikin barang
terus menumpuk. Padahal kalau mau selektif berbelanja, kita bisa nabung lebih
banyak loh.
Samarinda, Agustus 2016.
2 Comments
Jadi semacam sudah memantabkan hati domisili disana ya Kak? Alhamdulillah...
ReplyDeleteAku masi nomaden. Doain smoga segera nyusul yaaa. Syukur2 kalo bisa tanpa jajahan bank. Huhuu..
Dan sepertinya penyakit ibu rumah tangga juga mulai menjangkitiku: doyan nimbun barang! Semakin besar ruang yg kita punya, semakin besar pula potensi kita untuk 'mempersempit' nya. Pfftt..
Smoga barokah di rumah baru kak Rika :)
Aamiin. Makasih Mae :)
ReplyDeleteYa sebenarnya sih belum msh berharap kembali ke Pulau Jawa. hihihi.
cuma gak papa,hitung-hitung investasi.
Ayo Mae, semangat!. Semoga rumah impiannya segera terwujud :)
thanks for your comment.
will be shown after moderation