Perjalanan-perjalanan yang saya
ceritakan dalam blog ini kebanyakan terlihat gampang, menyenangkan, impulsive,
penuh kejadian tak terduga, tapi ujung-ujungnya happy ending. Yes! Im th lucky one, indeed.
Namun Untung dalam cerita Donald
Bebek pun pernah mengalami ketidakberuntungan. Apalagi saya yang bukan bernama untung.
Short trip gateaway saya ke Penang, atau nama lainnya Pulau Pinang, bisa dikatakan sebagai
satu bab perjalanan saya yang penuh dengan ketidakberuntungan.
Niat saya ke Penang bermula setelah membaca artikel yang
menggambarkan betapa nikmatnya duduk-duduk sambil ngopi di Penang. Tidak hanya pria, perempuan pun bisa tergoda.
Lalu saya tergoda. Kenapa tak saya coba
sendiri ngopi-ngopi cantik di Penang. Tentu lebih nikmat ketimbang hanya
membaca dari sebuah tulisan. Memang Penang terkenal dengan banyaknya kedai kopi atau kopitiam nya yang the best.
Fort Cornwalls, Penang . Foto yang diambil dengan kamera pocket |
Awal trip sudah dimulai dengan
kejadian gak enak. Dua teman membatalkan keberangkatan karena urusan kerjaan. Maka tinggalah saya dan seorang kawanyang tetap menjalankan planning Backpackeran ke Penang. Ditambah jadwal penerbangan pun berubah. Seharusnya kami berangkat ke Penang pada penerbangan pagi, namun di-reschedule
oleh maskapai menjadi sekitar jam 7 malam.
Saya tiba di Bandara Penang sudah hampir
pukul 10 malam. Keteledoran pertama, salah masuk hostel. Rupanya di Love Lane Street -sebuah jalan dimana terdapat banyak hostel di Penang- ada dua hostel bernama
mirip . Dengan langkah gontai saya dan kawan berjalan menuju hostel yang
seharusnya. Saya kemudian bertemu dengan
dua backpacker cewek dari Indonesia yang
juga salah hostel. Namun mereka terbalik. Datang ke hostel yang sudah saya book. Padahal menginap di hostel
pertama yang saya datangi.
Setelah check-in, saya keluar cari makan. Ketemu lagi dengan kedua
backpacker tadi. Kami berkenalan singkat, lalu janjian besok mau jalan bareng. Pulang makan, bukannya tidur, saya malah
bergundah gulana bersama kawan saya hingga baru tertidur hampir subuh. Maka janji
jalan bareng dengan kenalan baru tersebut tinggal janji (yang sampai saat ini
tak pernah lunas). Saya dan keman saya bangun kesiangan. Dan lalu sarapan
sambil menyalahkan masing-masing. Kata teman saya, tercoreng sudah nama baik
kami sebagai backpacker. Pelajaran pertama: jangan berjanji dengan orang yang
baru dikenal.
Tak punya rencana mau pergi kemana – lah wong
tujuan awal cuma ingin menikmati kopi di Penang. Saya dan kawan lalu menyewa sepeda motor untuk berkeliling Penang. Syarat menyewa motor di Penang hanya menunjukkan SIM dan membayar sewa serta uang jaminan. SIM untuk menyewa motor di Penang pun tak harus SIM internasional, SIM biasa pun bisa digunakan.
Berbekal brosur wisata gratis, kami menjelajahi beberapa tempat yang menjadi rekomendasi di Penang. Barangkali salah kami yang terlalu menggampangkan sesuatu. “Ini cuma Penang kawan, Cuma pulau kecil dan gak bakal tersesat”.
Maka sepanjang siang itu saya luntang lantung berkeliling lebuh -sebutan jalan dalam bahasa melayu- dan menjelang sore ke Pantai Batu Feringgi menggunakan motor sewaan. Menuju pantai Batu Feringgi butuh waktu hampir 1,5 jam berkendara motor dari Pusat Kota Penang. Bagaimana kami tahu jalan menuju Pantai Batu Feringgi?. Apakah menggunakan bantuan Google Maps?. Tentu tidak. Kami hanya mengandalkan peta dari brosur wisata yang kami dapatkan dari Bandara Internasional Pulau Pinang.
Berbekal brosur wisata gratis, kami menjelajahi beberapa tempat yang menjadi rekomendasi di Penang. Barangkali salah kami yang terlalu menggampangkan sesuatu. “Ini cuma Penang kawan, Cuma pulau kecil dan gak bakal tersesat”.
Maka sepanjang siang itu saya luntang lantung berkeliling lebuh -sebutan jalan dalam bahasa melayu- dan menjelang sore ke Pantai Batu Feringgi menggunakan motor sewaan. Menuju pantai Batu Feringgi butuh waktu hampir 1,5 jam berkendara motor dari Pusat Kota Penang. Bagaimana kami tahu jalan menuju Pantai Batu Feringgi?. Apakah menggunakan bantuan Google Maps?. Tentu tidak. Kami hanya mengandalkan peta dari brosur wisata yang kami dapatkan dari Bandara Internasional Pulau Pinang.
Pantai Batu Feringgi ini Pantai yang famili friendly. Banyak keluarga yang menikmati sore di Pantai ini sembari menikmati berbagai jajanan yang dijual di sepanjang pantai. Penginapan pun mudah ditemukan di sepanjang Pantai Batu Feringgi, Penang.
Saat pulang, barangkali keberuntungan saya
tertinggal di pantai. Ketika sudah sampai di pusat kota Penang, saya kebingungan mencari jalan Love Lane, yang lebih cocok disebut gang karena cukup kecil.
Memang, tadi malam saya dan kawan yang tak pandai membaca peta ini, juga tak memperhatikan sekitar. Semacam mengingat gedung atau warung makan sebagai penanda. Mana pula ada banyak jalan satu arah di Penang. Bertanya ke mas-mas ginuk bermata sipit yang kebetulan stop di samping motor saya di lampu merah yang hanya menjawab dengan gelengan kepala. Untung pada putaran kelima kali di Jalan satu arah yang sama, saya melihat sebuah hotel besar. Dan samar-samar saya ingat tadi malam saya melihat gedung serupa saat menikmati nasi goreng di dekat hostel. Syukurlah, saya tak jadi mampir ke kantor polisi untuk bertanya dimana Love Lane Street.
Memang, tadi malam saya dan kawan yang tak pandai membaca peta ini, juga tak memperhatikan sekitar. Semacam mengingat gedung atau warung makan sebagai penanda. Mana pula ada banyak jalan satu arah di Penang. Bertanya ke mas-mas ginuk bermata sipit yang kebetulan stop di samping motor saya di lampu merah yang hanya menjawab dengan gelengan kepala. Untung pada putaran kelima kali di Jalan satu arah yang sama, saya melihat sebuah hotel besar. Dan samar-samar saya ingat tadi malam saya melihat gedung serupa saat menikmati nasi goreng di dekat hostel. Syukurlah, saya tak jadi mampir ke kantor polisi untuk bertanya dimana Love Lane Street.
Pantai Batu Ferringhi, Pulau Penang |
Pukul 10 malam hari itu juga, saya sudah terbang dari Penang ke
Singapore. Yap, kami berlibur di Penang selama 1 malam. Dan, lagi-lagi ada perubahan jadwal penerbangan dari maskapai jetstar yang akan menerbangkan kami ke Singapore.
Again, saya mengulangi keteledoran saat tiba di Singapore.
Jadi, beberapa hari sebelum berangkat, saya ngobrol sama temen yang tinggal di Singapore kalau saya akan berkunjung ke Singapore. Ada sedikit miskomunikasi, saya pikir kami akan ketemu di suatu tempat, dan dia gak bakal menjemput di bandara. Somehow, ternyata dia udah nungguin saya di bandara sejak pukul 9 malam. Turun dari pesawat saya tidak segera mengaktifkan handphone. Sudah sampai di hostel, hampir pukul 2 pagi, saya baru mengaktifkan handphone. Jelas teman saya sudah pulang ke apartemennya. Besok hari senin, dan tentu saja dia harus kerja. Teman saya mungkin kecewa, dan saya merasa sangat bersalah.
Again, saya mengulangi keteledoran saat tiba di Singapore.
Jadi, beberapa hari sebelum berangkat, saya ngobrol sama temen yang tinggal di Singapore kalau saya akan berkunjung ke Singapore. Ada sedikit miskomunikasi, saya pikir kami akan ketemu di suatu tempat, dan dia gak bakal menjemput di bandara. Somehow, ternyata dia udah nungguin saya di bandara sejak pukul 9 malam. Turun dari pesawat saya tidak segera mengaktifkan handphone. Sudah sampai di hostel, hampir pukul 2 pagi, saya baru mengaktifkan handphone. Jelas teman saya sudah pulang ke apartemennya. Besok hari senin, dan tentu saja dia harus kerja. Teman saya mungkin kecewa, dan saya merasa sangat bersalah.
Tak cukup sampai di situ. Karena
kelelahan, seperti biasa, saya dan kawan bangun kesiangan. Di sini lah bencana
paling menyebalkan terjadi. Pagi hari
nya, saya gak menemukan kamera DSLR yang saya bawa. Entah hilang di hostel,
entah ketinggalan di taksi dari bandara menuju hostel. Saya meminta teman yang tinggal di Singapore-yang
menjemput saya tengah malam ke bandara dan gagal bertemu- untuk menghubungi
beberapa perusahaan taksi di Singapore. Hasilnya nihil. Ketika menghubungi
pihak hostel untuk memeriksa CCTV di hostel, mereka bilang CCTV tersebut aturan
dari Pemerintah Singapore, dan hanya
bisa diakses oleh petugas yang berwenang.
Maka hingga kini kamera DSLR
–beserta foto-foto selama di Penang- hilang tak berbekas. Tak mau
berlarut-larut dalam sedih, siang itu saya dan kawan tetap jalan-jalan –tanpa
arah yan jelas- di Singapore. Mampir ke Singapore Art Museum –dengan membayar
belasan SGD-, dan keluar dengan kepala lebih pusing karena tak satu pun karya
seni mampu saya pahami. Meneruskan jalan-jalan dengan MRT,
salah turun stasiun, kebingungan membeli tiket one way di vending
machine, berhasil sampai ke area Marina Bay, kawan saya ingin foto berlatar
patung singa- yang memuncratkan air dari mulutnya- yang sayangnya hanya bisa
kami lihat dari kejauhan. Otak sudah konslet, saya dan kawan sudah tak mampu
berpikir bagaimana caranya menuju patung singa yang ada di seberang teluk
buatan, dan hanya dapat kami lihat dari kejauhan.
Melihat patung singa mancur dari kejauhan, dan kami gak tahu caranya ke sana |
Akhirnya saya dan kawan
memutuskan pulang ke hostel, mengambil ransel yang kami titipkan, karena malam
ini saya akan kembali ke Jakarta. Rupanya kesialan belum mau pergi. Atau barangkali
liburan kali itu saya lupa membawa otak. Saat berangkat dari hostel, saya tak
memperhatikan pintu MRT mana yang saya masuki. Sehingga saat pulang, saya
keluar di pintu MRT mana saja yang saya sukai (ini bukan tentang pintu surga untuk perempuan sholehah ya).
Singapore Art Museum, dan saya gagal paham di tempat ini. |
Begitu keluar dari pintu MRT,
saya tak menemukan dimana hostel saya. Ya jelas, karena saya keluar di pintu
yang salah. Maka saya harus tersesat (lagi dan lagi).
Oh ya, kalau keluar negeri,
kecuali saat umroh, saya gak pernah beli
nomor provider setempat. Sehingga kalau tidak dalam jangkauan wifi, saya adalah
manusia dua dekade silam yang tanpa akses internet.
Bukannya kembali ke Stasiun MRT,
dan mencari pintu keluar yang lain. Saya dan kawan malah meneruskan berjalan
(yang ternyata arahnya menjauhi hostel). Herannya saya sama orang Singapore,
saya bertanya hampir 3 orang, dan mereka gak tahu (atau mungkin malas mikir) dimana Jalan Lavender ( Lavender street)- dimana hostel saya berada-, yang hanya berjarak satu blok.
Mau naik taksi takut diusir
sopirnya karena terlalu dekat. Saya masih bisa mikir kalau hostel tersebut
pasti sudah sangat dekat karena saya sudah turun di stasiun MRT yang benar. Namun
butuh waktu lebih dari setengah jam saya keliling-keliling gak karuan sebelum
akhirnya bertemu dengan seorang nenek –orang ke-4 yang saya tanyai-, dan nenek
ini menunjukkan arah yang tepat menuju hostel.
Finally malam itu saya boarding
dan kembali ke Jakarta. Gak sabar rasanya kembali ke Negara Indonesia tercinta,
yang setidaknya kalau saya tersesat, masih bisa nanya tukang ojek mangkal, yang
hapal sampai ke gang-gang tikus beserta rumah-rumahnya.
Oh ya, note to self : kalau
liburan, otaknya jangan sampai ketinggalan!
1 Comments
Hahahaha itu gara2 kw pergi samo espe ka. Btw yg komen ngapo vmax ka
ReplyDeletethanks for your comment.
will be shown after moderation