Emang
drama apalagi yang terjadi setelah melahirkan dengan selamat, normal, dan
sehat? .
Well, dear all…
this is not the end of the journey.
Saya
sudah diperingatkan oleh beberapa teman, sebelum hamil, selama hamil, dan
diingatkan lagi setelah melahirkan. Apakah saya mengalami baby blues syndrome? Dan
Bagaimana gejala baby blues syndrome yang saya alami?.
Setelah
mengalami melahirkan dan punya anak, kalau saya bilang sih, baby blues syndrome
itu normal. Normal terjadi pada siapapun wanita normal itu.
Bagaimana
tidak? Perpaduan ritme aktifitas sehari-hari yang seketika berubah, lelah
mengurus anak, sakit dan kondisi fisik yang belum fit setelah melahirkan,
fluktuatif perubahan hormon, belum lagi perubahan fisik yang berkaitan dengan
(bagian sensual) tubuh, dan bagi muslim masa nifas berarti tak menjalankan
ibadah sholat 5 waktu. Fisik, psikis, mamupun spiritual mengalami perubahan
drastis. Maka siapapun pasti akan shock.
Ada
gitu yang gak mengalami baby blues sydnrom? Barangkali ada. Mungkin terjadi
pada segelintir perempuan, yang dianugrahi Tuhan yang Maha Kuasa perpaduan
sempurna: melahirkan lancar, cepat, dan tak merasakan sakit luar biasa, suami
yang pengertian dan tahu caranya membantu istri yang baru melahirkan, anak yang
tak rewel, tahu dan cakap menangani newborn, kondisi fisik yang tak berubah
banyak (tetap cantik dan bohay), dukungan keluarga mau membantu, dan punya
waktu luang untuk membantu, asi yang lancar, punya deretan asisten rumah tangga
dan baby sitter yang siap melayani. Ditambah mental stabil luar biasa, rajin
yoga, meditasi atau sejenisnya yang konon katanya bikin jiwa lebih tenang. Ya,
segelintir perempuan yang dianugrahi kesempurnaan(kira-kira) seperti itu.
Saya
sendiri mengalami baby blues syndrome kira-kira lebih dari satu minggu. Namun
satu minggu pertama adalah yang paling berat. Perasaan denial, sensitive, dan mood yang naik
turun seperti rollercoaster.
Gejalanya?
Murung dan suka tiba-tiba nangis, terutama di kamar mandi. Oh ya, saya bahkan sempat merasa gak sayang
sama anak sendiri. Aneh. Karena saya senang sama balita dan anak-anak. Untungnya
cuma sekitar 1-2 hari. Setelah si dedek intense menyusu, perasaan denial itu hilang.
Ajaib.
Mungkin juga karena oksitosin yang mengalir seiring dengan proses menyusui itu
sendiri. Rasanya menyenangkan sekali.
Menyusui
bisa jadi mekanisme yang sudah diatur Tuhan untuk merancang kedekatan ibu dan
anak.
Dan
kini saya pun bisa memahami jika ada perempuan yang merasa tak sayang dengan
bayinya. Saran saya: kontak fisik. Cinta bagaimanapun harus ditumbuhkan. Satu
cara yang paling ampuh, ya kontak fisik. Tak peduli cinta sama anak atau sama
pasangan.
Lalu bagaimana saya menghilangkan baby blues
syndrome? Well, saya gak punya tips nya :p.
Effort
dalam diri sendiri aja sih. Lihat anak, lihat suami, dan terutama lihat ke
dalam diri. Bahwa saya suatu saat pasti kangen bulan-bulan pertama kelahiran
anak saya. Badai pasti berlalu, bukan?
Sekarang
sudah hampir dua bulan terlewati. Saya sudah mulai memahami karakter anak saya.
Hal-hal yang menyenangkan dia, bagaimana cara memandikannya, ciri tangisnya,
pola tidurnya. Semakin memahami anak dan terbiasa, mengurus anak akan terasa
lebih ringan dan cepat. Saya butuh efisiensi. Waktu-waktu di luar mengurus
anak. Waktu-waktu untuk menikmati diri sendiri. Me time. Leasure time. Semakin teratur saya memperoleh me time, semakin stabil emosi
Masa
nifas sudah berakhir, saya sudah bisa sholat. Hal ini sangat membantu saya
menjadi jauh lebih tenang dan bisa berpikir jernih.
Overall,
saya merasa sudah jauh lebih baik. Walaupun masih super-sensitif.
Sedikit saja tersinggung, atau capek, saya bisa langsung nangis. Tapi saya mulai menyusun many-things-to-do
setelah melahirkan. Terutama rencana-rencana hidup (yang lebih baik). Tak sabar
untuk mengeksekusi segera setelah cuti melahirkan berakhir. Dan menulis, satu
hal yang selalu berhasil menjadi terapi untuk saya.
And
that’s why I wrote this drama :D
sangasanga, februari 2016
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation