Well, tahun 2015 ini memang target saya untuk
melahirkan Laut ke dunia dan menjadi ibu. Dan insyaAllah harapan dan target ini
bisa tercapai.
Tapi
begitulah menjadi manusia produktif, dalam artian beranak pinak dan melahirkan
satu manusia ke dunia ini, ternyata bukan hal mudah. Kehamilan, sebuah fase produktivitas
itu sendiri, saya lewati dalam masa-masa yang sungguh tidak produktif.
Di bulan pertama dan kedua, saya masih gagah
perkasa, dengan frekuensi muntah hampir bisa dihitung dengan jari. Tapi jumawa
terlalu dini memang berbahaya. Begitu memasuki bulan ketiga dan keempat saya
terkulai lemah tak berdaya. Hitungan
muntah saya masih bisa dicatat dengan jari, tapi itu dalam sehari. Makan banyak, muntah sebagian. Telat makan, mual dan
kerap diakhiri dengan muntah. Makan besar pun, harus berupa nasi. Biar ngemil
sepanjang waktu, dan perut masih kenyang, tubuh tetap mengkategorikan sebagai
belum makan. Saya harus makan nasi, tetap mual, dan hampir selalu diakhiri
dengan muntah.
Bawaan
aneh lainnya, saya gak bisa minum air putih. Saya harus air minum yang ada
rasanya. Kalau sekali-sekali sih gak masalah.
Tapi kalau sepanjang hari sepanjang waktu, rasanya sungguh dehidrasi.
Bawaan-bawaan
ini sungguh berkebalikan dengan kebiasaan saya minum banyak air putih, gampang
haus, jarang ngemil, dan makan besar dalam jumlah banyak.
Apa
yang begitu saya inginkan sepanjang 4 bulan pertama kehamilan? Makan nasi dalam
jumlah banyak, nambah berkali-kali sampai kekenyangan, diiringi minum air putih
dingin bergelas-gelas. Oh I Wish….
Sindrom
keanehan pola makan ini bertambah parah memasuki bulan puasa. Alhamdulillah
saya bisa menjalankan 24 hari puasa dari 29 hari puasa ramadhan tahun ini. Tentu saja dengan perjuangan yang
bikin keringat panas dingin. Tiada buka puasa yang saya lewati tanpa muntah.
Pasti ada sedikit makanan yang keluar, entah itu cuma makan takjil ataupun
makan besar. Ditambah menahan diri untuk berbuka puasa dengan air teh atau air
jeruk hangat saja, karena kalau air dingin, muntahnya bisa bertubi-tubi.
Yang
paling bikin gak kuat, menahan diri untuk tidak minum air putih. Yang namanya
bumil pasti gampang berkeringat, ditambah sedang menjalankan puasa. Duh Gusti…. Satu-satunya air putih yang bisa saya
toleransi cuma Aqua, itupun paling banyak setengah gelas.
Morning sickness? Tentu saja. Di 4 bulan
pertama, saya gak bisa melakukan banyak kegiatan saat pagi hari. Setelah pukul
12 siang, baru kepusingan, dan kepeninangan serupa naik travel
Samarinda-Balikpapan namun gak sampai-sampai, agak mereda. Sungguh bulan-bulan yang benar-benar tidak
produktif.
Untungnya
(atau malah ruginya?), saya sudah gak kerja full
time. Bulan April lalu, saya sempat kerja full time, namun hanya bertahan 3 hari saja sodara-sodara. Bukan
apa-apa, jam kerja yang fleksibel, alias saya bisa masuk pagi pukul 07.30
-15.00 atau sore jam 15.00-22.00 ditambah masuk kerja Senin-Sabtu rasa-rasanya
akan menghambat program hamil yang sedang dijalankan. Mengingat usia yang sudah
28 tahun, target punya 3 anak, sedangkan usia 35 tahun rencana sudah tutup
pabrik, Maka akhirnya saya pilih kerja paruh waktu jadi staf pengajar di sebuah
universitas antah berantah saja. Alhamdulillah gak perlu nunggu lama, bulan
depannya saya positif hamil J
Sekarang
sih sudah masuk trimester dua, sudah 21 minggu. Yang paling menyenangkan adalah
saya sudah bisa minum air putih. Meski muntah-muntah masih menjadi rutinitas
harian yang harus saya lewati.
Namun rupanya, mengandung bayi itu
menghadirkan gejal-gejala yang ibarat pepatah ‘Patah tumbuh hilang berganti’. Keluhan
terbaru saya, kalau duduk atau berdiri agak lama, kaki terasa pegal dan
bengkak, dan kalau bangun tidur tangan
terasa kram dan sulit digerakkan.
Minggu
lalu saya jalan-jalan ke mall, sambil cari-cari sandal. I end up dengan kaki pegal, bengkak, badan langsung meriang, dan
batal beli sandal. Padahal durasi keliling-keliling nya gak nyampe satu jam.
Rasanya pengen nangis mengingat dulunya saya terbilang tahan banting soal
jalan-jalan. Mau jalan kaki seberapa jauh, naik motor, naik pesawat sehari dua
kali, naik kereta semalaman dari kelas ekonomi hingga eksekutif, naik kapal
laut, atau bergelantungan di metromini yang maha padat, Semua saya lewati
dengan santai dan tanpa keluhan.
Mengenalkan Laut kepada Laut sejak dini |
Bulan
lalu saya liburan ke Lombok. Sudah masuk trimester dua, dan dokter bilang
kandungan saya oke. But I feel like this
is like the hardest holiday. Selama hamil saya memang gampang banget masuk
angin, bersendawa hampir sepanjang waktu. Ternyata pergi berlibur ke daerah
pantai make it worse. Saya masih excited
banget ngeliat laut, tapi angin laut yang maha hebat membuat saya harus pake
syal dan pakaian tebal kalau ke Pantai. Di Gili Trawangan saya sempat berenang
di laut, cuma sebentar, tapi efeknya badan langsung panas, kepala pusing, saya masuk
angin hebat, dan perut terasa kencang. Sebelum magrib, saya sudah kembali ke
penginapan dan melewatkan sunset begitu saja. Malamnya saya paksain keluar buat
cari makan, dan langsung pulang diiringi muntah-mutah dan perum kram. Saya langsung minum obat demam dan vitamin C,
lalu tidur hingga besok siang. Saya pun melewatkan sesi snorkeling karena masih
takut naik kapal dalam durasi lama. Sisa liburan saya habiskan dengan selalu
was-was kalau ke pantai.
But then I look from the other side,
barangkali kerentanan tubuh ini semacam peringatan dini agar saya gak pecicilan
dan benar-benar menjaga kondisi tubuh. Ya keadaan tiap orang memang beda-beda.
Mengingat riwayat keluarga, terutama kakak pertama yang keguguran sampai 8
kali, dan kakak saya yang nomor 3 keguguran 4 kali dan hingga kini belum punya
keturunan, saya harus benar-benar
hati-hati menjaga tubuh dan janin yang dikandung.
Dengan
menyingkirkan segala keluhan-keluhan kehamilan, saya seharusnya bersyukur dengan
kehamilan yang alhamdulillah berkembang baik dan sehat.
Yap…semoga
seterusnya sehat Laut, Mama Laut, dan Papa laut :-*
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation