Area X: Hymne Angkasa Raya, satu novel yang memberikan kesan pada
masa remaja saya di awal tahun 2000an. Bahkan hingga kini, saya masih menyimpan
apik novel Area- X tersebut. Satu buku yang tidak pernah ingin saya singkirkan
diantara periode-periode suksesi buku-buku saya.
Elita V. Handayani, si
penulis novel, kala itu masih berstatus sebagai siswi SMA Taruna Nusantara, Magelang. Sebuah karya brilian untuk ukuran penulis
pemula yang masih berusia belasan tahun. Apalagi waktu itu, ragam dan variasi buku
non-terjemahan tak sesemarak saat ini.
Area X merupakan novel science-fiction
futuristik, bertema alien. Membaca novelPartikel nya Dewi Lestari mengingatkan saya pada nostalgia novel Area X.
Setelah Area X, bertahun-tahun tak pernah saya temukan lagi buku dengan label
Eliza V. Handayani sebagai penulisnya.
Beberapa kali pernah
saya coba mencari jejak Eliza V. Handayani. Tersebutlah dalam sebuah keterangan
bahwa si Penulis melanjutkan studi mengenai perfilman di Negeri Paman Sam.
Suatu ketika beberapa bulan yang lalu, saat mengunjungi
sebuah toko buku, saya menemukan kembali nama tersebut di deretan rak buku . Dengan cover dan judul tak menarik, saya
membulatkan tekad membeli buku dengan jumlah halaman 130 lembar tersebut.
Sangat tipis untuk ukuran sebuah novel.
Baru
setengah jalan membaca buku tersebut, rasanya saya mau muntah. Saya memang tak
mengerti banyak tentang kaidah-kaidah penulisan novel. Tapi sebagai penikmat,
saya merasa ada yang salah dalam buku ini. Ibarat bayi, maka buku ini cacat.
Tak pantas disebut novel. Ada bagian-bagian yang tak lengkap. Alurnya tak
sempurna, setting-nya abstrak, tokoh-tokohnya tak berkarakter.
Saya
bahkan kebingungan, apakah ini cerpen atau novel. Ide ceritanya bagus, tapi dan
seharusnya untuk sebuah novel bisa
dikembangkan hingga 400 halaman untuk cerita serumit ini. Terbaca jelas bahwa
novel ini adalah kumpulan catatan harian si penulis yang terbitkan dengan
editing ala kadarnya. Ada warna seorang
feminis yang desperate. Sebuah
keputusasaan yang merujuk pada tindakan menyakiti diri sendiri, kegagalan
studi, dan beberapa kali percobaan bunuh diri.
Kekecewaan
saya membeli buku tersebut tak sebanding dengan kekecewaan saya terhadap si
penulis sendiri. Belasan tahun menanti, sebuah harapan bila saja si penulis kembali,
ia akan menghasilkan deretan karya brilian dari seseorang yang (seharusnya)
bertransformasi menjadi lebih matang,
setelah belajar dan merantau jauh ke benua nun jauh di sana.
Barangkali
memang kesuksesan tak serta merta dihasilkan oleh bakat semata. Ada mental yang tahan banting, kegigihan yang
terus diasah, dan satu yang pasti, persistensi terhadap segala kegagalan dan
rintangan yang datang.
Iya,
bisa jadi proses transformasi itu belum berhasil. Dan barangkalai proses
transformasi itu masih terus berlangsung.
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation