Leafie: Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya

Leafie: Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya

Sudah lama sekali tak menulis tentang buku. Selain memang menurunnya kuantitas membaca, saya juga tak menemukan buku yang cukup berkesan untuk ditulis  review nya.

Leafie:  Ayam Buruk Rupa dan Itik Kesayangannya. Dari judulnya tak begitu menarik. Kalau bukan karena  embel-embel di sampul buku yang bertuliskan ‘terjual lebih dari 1 juta eksemplar’, saya tak akan membeli buku ini yang kala itu dijual diskon dalam suatu acara pameran buku.

Dini hari itu saya membaca hanya untuk menghadirkan rasa kantuk yang tak kunjung datang. Alih-alih, bab pertama membuat saya tak melepas buku ini. Ringan dan alurnya mengalir cepat, sehingga membuat terus penasaran.

Jadi, Si Leafie ini adalah ayam petelur, yang diceritakan dengan apik oleh penulisnya, memiliki impian hidup di luar kandangnya dan mampu mengerami telurnya. Akibat impiannya yang hampir tak mungkin itu, Leafi akhirnya jatuh sakit, sehingga dibuang oleh majikannya ke lubang pembuangan ayam mati. Leafie berhasil melarikan diri dari lubang yang selalu dijaga musang itu akibat pertolongan seekor bebek. Leafie kembali ke rumah majikannya, namun tinggal di halaman bersama bebek dan ayam kampung lainnya. Satu impian Leafie telah terwujud. Sampai ketika Leafie mendengar percakapan majikannya, bahwa Leafie akan dimasak dan dijadikan santapan.

Leafie lalu memutuskan melarikan diri, Dalam pelariannya ini, Leafie menemukan sebuah telur untuk dierami.  Telur itu ternyata  adalah telur bebek pengelana dengan seorang bebek putih susu yang telah duluan di makan musang.

Telur akhirnya menetas, dan leafie si ayam petelur kurus membesarkan bebek liar dengan tulus. Perjalanan membesarkan ini pun tak gampang, karena musang, musah bebuyutan Leafie terus mengincar mereka. Buku yang hanya setebal 224 halaman menghadikan cerita yang benar-benar  menyentuh, apalagi untuk ukuran sebuah fabel. Menyindir konflik sesama manusia, membuat diri sendiri tersentil.


Selain ceritanya yang tak lazim, saya menyukai cara penuturan dari cerita fiksi terjemahan karya Hwang Sun-Mi ini. Ia mampu memainkan emosi pembaca, meski tokoh-tokohnya bukan manusia. Terlebih ending ceritanya yang semakin membuat saya mengharu biru. 


Post a Comment

0 Comments