Saya ke pasar Maxwell
di Desplaines Street, Chicago. Mengecewakan. Di luar ekspektasi saya. Berhenti di sebuah teras bangunan karena
angin kencang pagi itu. Seorang laki-laki paruh baya menghampiri
“Todays weather is very bad”, sapa si bapak yang saya notice
dari pakaiannya bertugas sebagai security.
“ Yeah, pretty damn cold!”.
Kapiler pembuluh darah saya nyaris beku. Saya tak mampu
berpikir lagi.
Dengan bahasa inggris sepatah dua
patah kata, saya tak punya pilihan lain. Ngobrol dengan orang, satu hal yang bikin tetap bikin waras,
terutama saat jalan sendirian dan sudah tak tahu harus kemana. Si bapak
berperawakan mirip pegawai polisi rendahan yang gemar mabuk seperti stereotype di film-film Hollywood.
Typically American yang cenderung rame dan banyak berkeluh kesah untuk memulai
obrolan.
“ You know what I’m doing?”,
Pura-pura nggak tau, saya jawab “What are you doing?”
Si bapak membuka kupluknya, dan memperlihatkan topi nya yang
bertuliskan security
“I’m working around
here, just to make sure, everything’s okay”
Tentu saja sebagai timbal balik,
saya pun menceritakan hal ikhwal kedatangan saya ke Amerika, dan pengalaman
pertama ke Chicago.
“You have noted?”
tanya nya.
Seketika saya menyerahkan pulpen dan kertas. Ia menuliskan
sebuah nama gedung.
“You know the skyscraper overthere? That’s one of the
tallest building in the world. Its pretty cool”.
Lalu si bapak menjelaskan arah kemana saya harus berjalan
menuju gedung itu. Angin dingin masih menderu kencang.
“So…why don’t you go now?”
“Its very cold”, jawab saya sambil menggigil.
“You know, the best thing you can do in winter is just keep
walking”.
“C’mon…Just go, you only have time untili tonight, right?”. seru
si bapak menyemangati saya.
Lalu dengan semangat yang akhirnya berkobar, saya meninggalkan si bapak,
menuju arah jalan yang telah diberitahukannya, yang mana dengan akal sehat
saya, searah jalan pulang menuju hostel. Sehingga keyakinan saya menjadi lebih
besar pula.
Angin masih
berhembus kencang. “Masak mati cuma
karena kedinginan, ini gak banget lah”, ujar saya dalam hati. Dan saya terus
berjalan sambil mengingat pesan si bapak. Yes, the best thing you can do in
winter is just keep walking. Sure, you can do also in life. Gak ada waktu untuk
berhenti. Just Keep Walking J
Adams Street |
Union Station |
Chicago River |
Dua blok sudah saya lewati. Dasar,
buta spasial. kembali saya kehilangan arah. Skycraper yang dimaksud si bapak
tak jua saya temui. Dingin kembali
membekukan otak saya.
Gak disangka, malah akhirnya
menemukan Chicago River. Sungai yang
pengen saya liat, selain Sungai Missisipi. Untungnya, Chicago River tidak beku seperti Sungai Missisipi yang saya
kunjungi di Minneapolis.
Setelah memotret beberap gambar, saya
meneruskan perjalanan. Hostel semakin dekat, dalam pikiran saya. Sedang Skycraper yang
semula saya cari, sudah tak lagi menjadi tujuan saya.
Berbelok ke kanan menuju Adams
Street, saya yakin di ujung jalan itu ada Michigan Ave, tentu saja satu blok
sebelumnya pasti ada East Parkway Street, tempat dimana hostel saya berada.
Angin tak berhenti menerpa, Saya
kalah lagi. Masuk ke Circle-K, satu pilihan untuk menghangatkan diri. Apa yang
saya temukan di sana sodara-sodara?. Well, gantungan kunci, magnet kulkas, dan
pernik meja dengan harga di bawah 8 USD. Seorang kawan kos bercerita sewaktu dia berkunjung ke
Washington DC, ia harus ke China Town dulu untuk menemukan oleh-oleh standard dengan
harga semurah itu.
Mungkin ini rezeki yang di
oleh-olehin. Saya tipikal yang malas ribet. Kalau gak ketemu, ya sudah,
oleh-oleh nya di skip saja :p.
*
“When I was in pilmigrigde
to Makkah, my father said those people from Indonesia. A lot lot of people.”, Si Sopir menjelaskan tebakannya yang tepat atas kewarganegaraan
saya.
Minneapolis Downtown yang super sepi |
Tak banyak yang
tau soal Indonesia, jikalau saya tak menyebutkan Bali sebagai penanda. Seperti sopir
Shuttle bus hotel yang beramah tamah menanyakan asal saya. “What? Indonesia?
Where is it?”. “Somewhere in South East
Asia, near Malaysia”, jawab saya lebih jelas. Dan baru dibalas anggukan oleh si
abang sopir.
Hari pertama
ketibaan saya di Minnesota, dan saya masih punya waktu satu hari sebelum
training di mulai. Tujuan saya Mill City Museum. Sudah saya niatkan sejak masih
di Jakarta untuk mengunjungi museum ini. Jadi walaupun harus menghabiskan 37
USD dengan jarak lebih dari 12 mil dari hotel
saya di Bloomington ke Downtown Minneapolis, niat harus tetap saya
tunaikan.
“We have a big moeslim community here.
Very big.”, tutur si sopir yang ternyata berasal dari Somalia, sebuah negeri
nun jauh di Benua Afrika. Perkataan abang sopir ini terbukti. Setelah beberapa
hari di Minnesota, kemanapun saya pergi, terutama kalau ke Mall, stasiun, atau
supermarket, saya selalu menemukan perempuan berjilbab. Meski semua yang saya
lihat memiliki ciri fisik ras negroid. Sering saya diliatin, atau kadang
dibalas dengan senyuman. Mungkin di sana tak lumrah melihat ras non-negroid
mengenakan jilbab.
Setibanya di Downtown, tentu jumlah bangunan lebih rapat
ketimbang Bloomington. Dan setidaknya ada beberapa manusia yang saya liat di
tepi jalan. Namun dibandingkan dengan kampung saya di Jambi, jelas Jambi lebih
ramai. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Tak ada motor di Minneapolis
ini. Hanya sesekali mobil pribadi lewat. Dan tak ada taksi yang lewat. Catat
sodara-sodara, TAK ADA TAKSI LALU LALANG.
Si sopir memberikan kartu nama
dan nomor telepon. In case, saya
butuh bantuan. Dan diantara beberapa kebegoan saya, salah satunya adalah saya
tak mengerti bagaimana menelpon nomor Amerika, menggunaka nomor ponsel dengan provider
Indonesia, di Amerika.
Tentu saja, terbesit kekhawatiran,
bagaimana caranya saya kembali ke hotel. Tapi saya tak punya waktu untuk
berlama-lama dengan rasa khawatir. Sore
ini jam 5 akan ada jadwal chill out sesame peserta training. Dan di depan saya
ada Museum yang menanti untuk saya jelajahi.
Mill City Museum, Minneapolis |
Sudahlah, mungkin saya bisa
mencari telpon koin yang kemarin malam saya liat banyak beredar di bandara.
Mungkin juga aka nada staf museum yang bersedia memanggilkan saya taksi. What-so-ever.
Dua jam berlalu. Urusan saya dengan Mill City Museum sudah selesai.
Beberapa leaflet saya bawa pulang. Satu keinginan saya adalah melihat Sungai
Missisipi lebih dekat. Saya hanya perlu berbelok satu blok. Sungai Missisipi
terletak tepat di belakang Mill City Museum. Namun urung niat ini melihat ini
sungai yang beku dari kejauhan.
Membayangkan dinginnya, saya sudah bergidik.
Sungai Missisipi yang membeku, Minneapolis |
Lalu saya
melihat sisi lain peta di leaflet. Sesuatu dengan bacaan Mall of America.
Jaraknya hanya dua blok. Ya sebaiknya saya ke sana saja. Saya bermaksud membeli barang titipan kerabat dan
pasti ada counter taksi di Mall.
Jika jalan-jalan
sendiri, memang kecerobohan dan kebegoan itu tak ada yang mengingatkan.
Ternyata saya salah baca. Ternyata itu adalah bangunan runtuh bekas stadion bernama Metrodome Hubert H. Humprey dan di dalamnya terdapat Mall of America Field. Saya yang salah menginterpretasikan sebagai
Mall of America, sebuah mall beneran yang saya cari.
Aliran darah di
otak mungkin sudah melambat, tapi untungnya masih bisa digunakan. Di perempatan, saya melihat rel metro. Saya ikuti. Berbelok ke kanan, di sana ada
halte. Jari-jemari mulai terasa ngilu. Terakhir saya melihat handphone, suhu
hari ini minus 20 derajat.
Di halte, saya
ketemu beberapa orang. Aneh, ketemu manusia saja rasanya senang banget. Pemanas
di halte membantu mengencerkan kembali otak. Saatnya berpikir.
Saya lihat
kembali peta metro yang ada di halte. Saya berada di halte dengan jalur Blue
Lina. Dan oh ternyata Mall of America begitu jauh dari sini. Jadi
urutannya Downtown Minneapolis- West Bloomington (lokasi hotel saya)- Mall of
America (Perbatasan antara Bloomington dan St.Paul Airport). Bisa-bisanya saya mengira kalau saya bisa
jalan kaki dari Mill City Museum ke Mall of America.
Metro Blue Line, Minneapolis |
Jalur biru metro
ini akan berhenti di stasiun terakhir
yakni Mall of America. Hanya butuh menguras kocek 1,75 USD dengan waktu tempuh lebih kurang
setengah jam. Hahaha, bisa ngerasain naik metro dan tak jadi menguras kocek
naik taksi. Saya senang bukan kepalang.
Dan sampai detik ini
saya tak habis pikir, kenapa saya bisa senekad itu. Hampir tercerabut nyawa ini
karena kedinginan.
Tapi kenekadan
itu bagai heroin. Besok-besok saya tetap
nekad lagi, dan setelahnya akan berbisik pada diri sendiri “Kenapa sih aku bisa senekad itu?”.
Dan lalu tertawa
sendiri :D
Minneapolis Downtown di hari selasa siang. Entahlah, mungkin sedang libur nasional |
Nickelodeon Universe di dalam Mall of America |
4 Comments
Thanks Yona. Iya mudah-mudahan tetap istiqomah menjadi blogger yang baik dan benar :p.
ReplyDeleteSemoga blog ini dapat terus bermanfaat :)
Tempat baru, orang baru, pengalaman baru, kan menghantarkan pada wawasan baru. Dengan begitu, kan ada sebentuk hati yang lebih terwarnai.. :p
ReplyDeleteCurhat nih om arya? :D
ReplyDeleteEaaaa.. Wakaka
ReplyDeletethanks for your comment.
will be shown after moderation