Bus
ke 6 yang saya tanyai. “ Are you going to Grand Mosque?”, Lalu Si Sopir
mengangguk.
Saya
memasukkan dua kepingan satu dirham. Duduk di kursi paling depan.
Murah
dan tentu saja lama. Sudah banyak sekali penumpang naik dan turun. Saya sudah ketiduran dan terbangun lagi. Tak
ada tanda-tanda keberadaan mesjid maha besar seperti yang saya liat di website.
Hampir satu setengah jam berlalu. Pukul setengah 5 sore, akhirnya saya sampai
juga. Waktu yang tepat untuk mengunjungi Mesjid Syeikh Jayed, begitu saran sebuah
laman pariwisata Abu Dhabi yang saya baca tadi malam
Tertatih-tatih
saya berjalan menuju gerbang. Hari itu saya berjalan sangat jauh. Jari-jari kaki saya lecet. Tapi ini destinasi
terakhir. Mesjid, dan saya berniat sholat. Jadi harus lebih semangat.
Gerbang
besar mesjid sudah tertutup rapat. Saya berhenti sejenak, ragu. Lalu datang seorang
laki-laki yang saya notice sebagai warga lokal.
Ia membuka gerbang itu, “Come on, just come in”. saya pun ikut masuk.
Ia membuka gerbang itu, “Come on, just come in”. saya pun ikut masuk.
“You wanna pray?”, sapa si pria
“Yeah!"
“Are you moeslim? ‘
“Of
course”, jawab saya cepat. Ini bukan
pertama kalinya. Sebelummya petugas airport service juga menanyakan apakah saya
muslim atau tidak. Hanya karena nama saya
bukan nama berbau islam. “That’s Indonesian name”, kata saya singkat. “What’s
the meaning?”, tanya si bapak lagi. Saya mengangkat bahu. Lagian di antara sekian ribu warga Indonesia
bernama Rika, adakah yang tau makna dari nama tersebut? .
“Hey,
the gate is closed. Don’t you see it? Why do you coming?”, seru seorang petugas, galak.
“Pray…”,
pria itu menggerakkan tangannya sejajar kuping. Saya ikut mengangguk.
Si
Petugas berfikir sejenak sebelum berseru “Just hurry up!”
Saya
bernafas lega dan berhenti sebentar untuk mengambil gambar
“Hey
faster, faster…., and don’t take picture” si security, menghalau saya
“
Alright..alright…”, hampir setengah berlari, saya menuju tempat wudhu.
Syeikh Jayed Grand Mosque, mesjid terbesar di Abu Dhabi, tujuan utama mengapa saya bela-belain
stopover dan bikin visa transit Uni Emirate Arab.
Jika
tak berpapasan dengan si abang tersebut, saya tak yakin bisa masuk ke mesjid
ini.
*
Februari, bulan lalu, masih di awal tahun, adalah perjalanan terjauh dan terlama yang
saya tempuh sendirian. Hampir 10 hari, perjalanan lintas benua.
Jalani, ikhlas, dan rasakan. Saya berusaha untuk tidak
berekspektasi lebih. Hanya menikmati.
Dimulai dengan sholat safar, dini hari itu saya berangkat,
perjalanan lancar hingga tiba di Chicago. Dingin menusuk, salju menghampar. Hampir satu jam saya menunggu, penumpang yang
lain satu per satu sudah memperoleh bagasinya. Hingga tinggal saya sendiri yang berdiri, saya masih sabar menunggu.
Saat check in di Jakarta, petugas maskapai malah memberi
instruksi untuk mengambil bagasi dan check in ulang saat di Abu Dhabi. Agak aneh, karena harusnya bagasi otomatis di
transfer. Sebelum boarding, saya tanya lagi, kali ini petugasnya member instruksi
mengambil bagasi di Chicago, sesuai kode bagasi.
Beberapa kali terdengar pengeras suara, bagi penumpang yang
akan melanjutkan penerbangan menggunakan American Airlines atau Delta Air,
bagasi akan otomatis di transfer. Saya akan melanjutkan perjalanan menggunakan
penerbangan domestic American Airlines. Tapi bukti bagasi saya berkode ORD,
yang berarti bagasi harus saya ambil di Bandara O’Hare, Chicago. Saya bingung, mungkin koper saya lebih bingung.
Mau keluar di Chicago atau di Bandara
St. Paul, Minneapolis.
Beberapa koper tak bertuan tergeletak begitu saja. Petugas
meyakinkan koper-koper itu bukan milik saya. “No. My luggage only 18 inchis,
the hard one, and orange just like my jacket.”
“Orang, hard, and
small”, si petugas menghapal cirri-ciri koper saya, dan berlari pergi. Satu
petugas lain mencatat alamat hotel, kontak saya, serta meyakinkan saya punya travel
insurance.
Tak lama, walki talkie berbunyi, “ Just wait here, don’t go
anywhere”. si petugas yang mencatat ini pun berlari dan berlalu pergi
Saya duduk-duduk sembari ngeliatin salju di luar. Lalu
ngeliatin seorang wanita paruh baya yang menunaikan sholat di pojok
ruangan. Sepertinya waktu magrib sudah
masuk. Dua puluh menit berlalu, si petugas kembali.
“Hey madame, is that your baggage?”, sembari menunjuk koper
saya yang ternyata sudah teronggok di
rel bagasi keluar.
Si
Petugas menjelaskan, tapi saya hanya mendengar ocehan yang sulit diartikan.
Sudahlah. Setengah berlari saya
mengikuti petunjuk arah, menuju Shuttle Train untuk ke Terminal 3.
Pemeriksaan
sekali lagi. Sepatu, jam tangan, jaket, dilepas. Passport dan bording pass saya tenteng. Laptop
saya dibawa masuk dan di cek petugas. Sepertinya cek orisinalitas Microsoft-nya.
Pemeriksaan
beres. Pasang sepatu lagi. Pasang jam tangan. Saya menenteng jaket,
laptop, dan tas sandang, memanggul tas ransel di bahu, dan mendorong koper. Tergesa-gesa saya menuju gate
American Airlines tujuan Minneapolis.
Hampir
700 meter berjalan, tiba-tiba ada seseorang mencuil saya di bahu. Wanita
berwajah oriental. Tersenyum dan menyerahkan passport saya. Saya kaget. Perempuan itu sudah berlalu pergi sebelum
sempat saya mengucapkan terima kasih. Gemetar saya menyadari betapa cerobohnya
diri ini. But then I smile, realizing how lucky I am J.
Warna koper seragam jaket |
*
Hari ke 7, tinggal jadwal jalan-jalan saya di Chicago. Saya
menginap di sebuah hostel di Chicago Loop. Dari semenjak saya berkunjung ke
website-nya, ada pengumuman bahwa hari minggu ini akan ada Down Town Tour. Saya
berniat ikut. Jam 10.30, silahkan
berkumpul di ruang rekreasi hostel, begitu pengumuman yang tertera
Setelah berkeliling di Maxwell Street Market yang dingin,
saya kembali ke hostel. Saya gak bawa
jaket. Dengan baju 4 lapis, di hostel saya berkeringat. Suhu udara pagi ini
minus 3 derajat, jauh lebih hangat ketimbang Minneapolis yang jika pagi sampai
minus 17 derajat. Dengan pongahnya saya keluar tanpa jaket. Alhasil dua jam
kemudian saya sudah kembali ke hostel. Lebih lama di luar, saya bisa jadi batu
es.
Karena sudah check
out, saya istirahat di ruang rekreasi di lantai dua. Masih di lantai yang sama,
saya menghampiri seorang pria ramah di bagian informasi.
Barnie nama pria itu, salah satu volunteering guide di
Chicago International Hostelling. Rupanya
hari minggu yang dingin, dengan badai angin sedang, membuat tour gratis darinya
tak laku. Hanya ada saya sendiri, satu-satunya peserta.
“OK, no problem. Let’s take a walk”, seru Barnie bersemangat.
Meskipun hanya jalan kaki di sekitar downtown, dan Barnie
meninggalkan saya di Millenium Park. Sudah menyenangkan rasanya ada teman
jalan, yang tau banyak soal beberapa gedung dan tempat-tempat di sekitar
Chicago Loop ini. Dapat short tour exlusive. Gratis lagi. Again, Alhamdulillah J
Down Town Chicago |
Millenium Monument di Millenium Park |
*
Termakan iklan di web Chicago Tourism, pagi itu saya niatkan
ke pasar Maxwell. Semacam pasar tumpah
di sisi timur daerah Chicago River. Bayangan saya tentu saja seperti pasar tumpah
di Asia. Sekali waktu saya pernah ke
pasar tumpah di Hanoi, masih musim dingin juga, Bulan Februari di Tahun yang
berbeda.
Pukul
tujuh, selesai sarapan pagi, maka berangkatlah saya dengan keyakinan penuh.
Setelah
berjalan kaki beberapa blok, mengandalkan ingatan fotografis dari peta Chicago Loop
yang saya baca tadi malam, dengan kemampuan spasial di bawah rata-rata,
akhirnya saya hilang arah. Menyerah sudah. Satu-satunya cara ya naik taksi.
Tak
jauh, South Desplaines Street, hanya tinggal dua blok rupanya. Taksi menderu
pergi, angin menderu datang. Inikah pasar tumpah itu? Baru kali ini saya ketemu
pasar sesepi ini.
Semua
pedagang berwajah Amerika Latin. Beberapa kali saya diajak berbicara, dengan bahasa
kedengaran seperti bahasa Meksiko. Saya
seperti terlempar di kampung imigran.
Hanya
ada ban-ban bekas, beberapa onderdil modil, tools mekanik yang kebanyakan sudah
berkarat, boneka-boneka kayu berdebu, syal dan kupluk tak menarik seharga satu dollar, baju-baju sweater dan
celana training yang muat diisi oleh dua Rika, sepeda bekas, kase-kaset tua,
dan beberapa penjual sayuran. Tak ada yang menarik.
Terdapat satu dua warung makan. Melewatinya terasa sedikit hangat. Mau mampir, saya ragu dengan kehalalannya. Lagi pula dua hari sebelumnya saya makan malam di sebuah restoran Meksiko. Lidah saya bilang taste-nya masih tertinggal jauh dari Masakan Padang.
Terdapat satu dua warung makan. Melewatinya terasa sedikit hangat. Mau mampir, saya ragu dengan kehalalannya. Lagi pula dua hari sebelumnya saya makan malam di sebuah restoran Meksiko. Lidah saya bilang taste-nya masih tertinggal jauh dari Masakan Padang.
Heavy snow mulai turun, udara semakin tipis. Para pedagang menutup
dagangannya dengan plastik. Pengunjung mulai berdatangan. Tapi saya pastikan saat itu tak lebih dari 40
orang.
Di
ujung jalan sana pasar ini berakhir. Saya
melihat melihat seorang bapak berdiri di sebuah teras bangunan. Teras yang agak
menjorok ke belakang.Dan masih tak punya ide mau kemana lagi pagi ini. Terlalu dingin , saya tak bisa berpikir lagi.
Lebih baik berhenti. Menghangatkan diri dan berpikir sejenak.
Si
Bapak menyapa saya…..
Maxwell Street Market yang saya temui hari itu |
Setelah kecewa dengan pasa Maxwell yang tak seberapa, kemana lagi saya berjalan? Kawan dapat membuka laman Catatan Perjalanan: Abu Dhabi, Chicago, Minnesota (Part 2)
5 Comments
selalu sukak baca catatan perjalannya mbak Rika :)
ReplyDeleteZahra. hahai... kalau bisa sih aku masukin koper. cuma gak bisa sayangnya :p
ReplyDeleteMae. hihi.. makasih. Moga kualitas tulisannya terus bertambah dan bertambah terus. Mari menulis :)
baru pertama kali berkunjung ke blog ini lansung suka sama cerita dan tulisanya. sangat menarik dan menginspirasi untuk selalu menikmati setiap perjalanan :)
ReplyDeletesalam kenal :)
Halo Pachrur, salam kenal juga :)
ReplyDeleteBegitu baca bagian paspor yang nyaris ilang, langsung ikut deg2an ahahahhaa
ReplyDeletealhamdulillah yaaa ada yang baik hati nemuin + balikin
BTW catatan perjalanannya menarik bgt ;)
thanks for your comment.
will be shown after moderation