Kalau saya sedang jalan-jalan, atau menceritakan kisah
perjalanan saya, orang-orang akan
berkomentar “ Kamu kok jalan-jalan terus sih?.”
Di
lain waktu, kala saya sedang menjalani rutinitas, mengumpulkan uang, menikmati week end dengan
baca buku, nongkrong, atau sekedar nonton film, orang-orang akan bertanya “Kok
gak jalan-jalan?”. Lebih mengerikan, kadang baru saja saya tiba di Jakarta
minggu ini, beberapa kenalan langsung memberondong saya dengan pertanyaan “Kapan
jalan-jalan lagi? Next destination
kemana neh?”, padahal ransel saja belum sempat saya bereskan. Pengen kadang saya balikkan pertanyaan: “Kamu
nanya pake logika gak sih?”. Ya kalau saya punya mesin cetak duit atau punya
korporasi retail obat, mungkin saya bisa bilang minggu depan saya bakal
keliling eropa, lalu bulan depannya lagi saya mau in the hoy di Kepulauan Karibia.
Saya sebenarnya gak suka batas
yang mengkotak-kotakkan sesuatu. Sekarang saya sering disebut sebagai si tukang
jalan-jalan. Ya dalam pikiran saya, jalan-jalan, atau istilah yang lebih
menggoda liburan, siapa sih yang gak suka?.
Kalau situ dikasih kesempatan buat jalan-jalan, ya pasti juga akan
jalan-jalan. Ya mungkin saat ini kesempatan untuk jalan-jalan itu lebih sering
datang kepada saya. Nanti juga akan ada
waktunya saat frekuensi jalan-jalan saya menurun, misal karena punya anak,
berkeluarga dan sebagainya.
. Tapi yang paling saya gak
suka, ya pertanyaan-pertanyaan retoris, yang jawabannya selalu serba
salah. Dalam pandangan saya, saya agak
ragu apakah si empu yang nanya tulus ingin tau ataukah hanya sekedar basa-basi.
Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya gak perlu jawaban riil. Semacam
pertanyaan-pertanyaan HRD saat
menginterview calon karyawan baru. Gak perlu memberikan jawaban sebuah
kebenaran, tapi jawablah dengan alasan (sedikit) logis yang akan membuat si HRD
tersenyum sumringah.
Belakangan, saya
merasa fenomena pertanyaan-pertanyaan kepo ini semakin menjadi-jadi. Pertanyaan-pertanyaan
yang terus memberondong kemana pun fase hidup telah kita lalui. Saat jomblo
melanda, seseorang akan dibanjiri pertanyaan: Kapan punya pacar lagi?. Kala
pacar sudah di tangan, ka nada pertanyaan menguntit: ”Kapan nikah?”, “Kapan
diresmikan?”. Nanti saat undangan sudah disebar, akan ada yang berkomentar “Wah
tiba-tiba nyebar undangan aja neh? Kok gak bilang-bilang sih?”. Nanti saat baru
saja menyandang status pengantin baru, hal pertama yang ditanyakan orang-orang
adalah “Sudah isi?”, “Sudah hamil?.” Seorang kawan saya bahkan pernah bercerita
ia ingin segera hamil karena bosan ditanya sudah hamil apa belum. Lah ingin
segera punya anak atau tidak kan seharusnya keinginan dari dalam hati, bukan
karena tekanan pertanyaan-pertanyaan yang (menurut saya) dilontarkan tidak dari
dalam hati si empunya yang nanya. Aneh rasanya, orang baru nikah sebulan, saat
baru masuk kantor dan cuti berakhir, seseorang akan langsung diberondong
pertanyaan: Udah positif? Udah isi?. Selain
menjadi-jadi, pertanyaan kepo ini juga semakin di luar logika.
2 Comments
aku HRD ga gituuu hahaha...justru g tertarik dengan jawaban-jawaban yang mainstream yang g menggambarkan dirinya sendiri *aseeekkk
ReplyDeleteMane, pasti ado satu atau duo pertanyaan standard, semacam:
ReplyDeleteKenapa Anda ingin bergabung dengan perusahaan kami? Atau...
Bagaimana Anda melihat diri Anda dalam kurun waktu 5 tahun ke depan?
*hueeksss
thanks for your comment.
will be shown after moderation