Seperti lima tahun yang lalu. Saya membau anyir
dalam rasa. Lelaki dari laut itu datang kembali.
Tiap bulan ini datang, saya selalu kembali
ke laut. Bulan ini pula yang menjadi bulan harapan saya sepanjang tahun. Saya
nantikan bulan ini layaknya saya nantikan tidur ketika saya amat ngantuk,
layaknya saya nantikan wisuda ketika saya mulai masuk kuliah, layaknya saya
nantikan malam minggu saat awal pertama jadian dengan pacar. Inilah kerinduan
saya sesungguhnya. Ketika baru saja saya lewati beberapa hari, maka sungguh
saya akan menantikan tahun depan tiba secepatnya, dan mengulang waktu ini
kembali.
Seperti lima tahun yang lalu. Saya membaui anyir dalam rasa.
Dengan motornya bututnya ia buntuti saya kembali. Orang-orang bilang itu hanya
bayangan saja. Tapi saya percaya lelaki dari laut bukan monster jahat yang akan
menceburkan saya ke laut.
*
Suatu malam, lima tahun yang lalu,
untuk pertama kalinya Lelaki Laut datang bersama deru motornya yang butut.
Jantung saya lalu berdebar-debar. Lelaki Laut hadir diambang pintu, tersenyum,
dan menyapa sopan. Ah...saya selalu ingat senyumnya. Senyum yang membahanakan
dunia saya. Mengguncang dan menggemparkan hampir seluruh keyakinan dan prinsip
yang saya miliki.
“ Maukah kau menemaniku malam ini?”
Seumur hidup pun akan kutemani kau, Lelaki Laut..
” Boleh. Memangnya kita akan kemana?”
” Malam ini kita akan ke laut dan menikmati
suasana laut”.
Lagi-lagi Lelaki Laut tersenyum dan dunia saya
berguncang.
Saya
tersenyum manis, lalu menikmati memeluk Lelaki Laut yang tegap nan amat harum.
Parfumnya mengantarkan gairah malam itu kepada saya. Ingin saya ciumi lelaki
laut, seperti di film-film yang sering saya tonton. Sayang itu hanya sebatas
keinginan. Jika saya ceritakan kepada lelaki laut perihal keinginan saya
tersebut, tentu ia tak akan keberatan.
Malam itu laut dan Lelaki Laut bekerja
sama demi menciptakan malam yang membahagiakan pada tahun ke 16 saya hidup di
bumi.
Lalu keesokan malam dan malam seterusnya,
saya mendapati repetisi kebahagiaan. Lelaki Laut datang ke rumah saya. Tak absen membawa
senyuman yang membahanakan dunia saya.
Lelaki Laut menafsirkan bagi saya sebuah
mimpi yang begitu membelai. Ia menafsirkan mimpi-mimpi saya akan sebuah cinta.
Ia mengajarkan saya
tentang tafsir cinta, tafsir kasih sayang, tafsir kebahagiaan, tafsir menafikan
ego, tafsir untuk mengalah, tafsir kesedihan. Lelaki Laut bagi saya adalah dewa
yang mengajarkan bahwa hidup itu patut disyukuri.
Inilah
saya yang akan terus mengingat tafsir tersebut. Ia mengajarkan arti kebahagiaan
dalam hidup saya yang kerontang. Ia membelai saya begitu halus, hingga saya
menyadari betapa ia menyayangi saya, sesuatu yang tak pernah saya peroleh
sebelumnya. Ia menyadarkan saya untuk berteman dengan kegagalan. Ia ajarkan
semua untuk saya. Arti hidup sesungguhnya dalam fase perubahan saya menjadi
dewasa. Hingga saya tak pernah lupa akan itu. Lelaki Laut yang temperamen namun
mampu membuat saya mengerti jauh lebih baik dari lelaki bijak manapun yang
pernah saya temui.
Lima kali putaran bumi berlalu, bau
anyir masih terasa, hati saya masih terluka, dan Lelaki Laut tak lagi menjadi
milik saya.
Ketika seminggu telah berlalu, dan
musim ini hampir berganti. Saya bersiap kembali menjalani hidup saya, jauh dari
laut. Lelaki Laut itu pun turut
meninggalkan laut. Saya pergi ke kota, lelaki itu pergi ke kota, yang sama
pula. Biarpun begitu kita tak pernah bersama, tepatnya tak pernah menemukan
laut yang sama untuk menoreh rasa. Saya meninggalkan cinta, ia meninggalkan
sayang. Kami melangkah menuju tempat yang sama, dan bercinta dengan orang yang
berbeda. Saya tak pernah mau bercinta di kota karena ia berubah menjadi lelaki
kota, yang beringas dan gemar bermain cinta. Dulu pernah saya percaya Lelaki Laut
akan tetap menjadi ia meskipun tak lagi di laut. Pada akhirnya saya sadar teori
tentang lingkungan akan mempengaruhi kepribadian seseorang itu benar. Saya
begitu syok ketika menemukan Lelai Laut yang telah berubah menjadi monster. Ia
tak lagi selembut laut.
Sekali lagi saya menafikan rasa. Karena
ego saya belum mampu memaafkannya. Karena kami pernah sama-sama terluka, dan
menyeruput getir yang amat sangat. Semua disebabkan kota hanya menawarkan aroma
permusuhan. Karena laut tak lagi mampu menjadi penghulu yang akan mengawinkan
cinta kami berdua.
Lelaki dari laut selalu mengatakan betapa
ia menyayangi saya. Saya selalu menangis setelah pulang dari berkencan dengan
pacar saya, menyadari bahwa belenggu Lelaki Laut tak pernah mau melepas saya.
Tapi saya perempuan, yang selalu mencari rasa aman dan nyaman. Pacar saya
selalu berhasil memberikannya jauh lebih baik dari lelaki laut.
Perlahan saya mencoba menikmati rasa,
bukan untuk sekadar terbang, dan merasa bahwa kita bahagia. Tapi ada cara lain
yang meyakinkan, betapa rasa seharusnya tak mengganggu kehidupan kita. Saya lalu
memilih kekasih yang bukan dari laut. Kekasih yang tak menebar keharuman gairah
dalam tubuhnya. Kekasih yang sayang saya. Kekasih yang sebelumnya hanya ada
dalam doa. Saya panjatkan harapan pada Tuhan, agar beroleh kekasih yang setia
dan mencintai apa adanya. Kemudian Tuhan kirimkan Lelaki Gunung untuk saya. Ia datang. Ia baik. Ia
setia. Ia menyenangkan. Ia kekasih yang nyaris sempurna. Kekasih dalam doa
saya. Sekarang saya berkhianat terhadap Tuhan. Saya mengkhianati doa yang
selalu saya hanturkan tiap saya sembahyang. Ternyata kenyataan memang tak
selalu sehebat impian
Saya
tak pernah lagi bisa benar-benar jatuh cinta. Cinta saya telah habis. Saya
menggigil mengingat Lelaki Laut. Saya menggigil menyaksikan betapa hebat ia
pernah menoreh pada hati saya, meski ia bukan lelaki hebat.
Ia hanya lelaki dari laut
(mencatat rindu pada Lelaki Laut)
Foto diperankan oleh model |
1 Comments
Isuuuurrrrr, namo anak aku bukan moda transportasi -_-"
ReplyDeleteLaut, idak pake darat dan udara..weeekkk:P
thanks for your comment.
will be shown after moderation