Kopi, harum dan rasanya memang bisa membawa
khayal melayang-layang, membawa kenangan silam melesat menembus mesin waktu.
Perjalanan dan cita
rasa di lidah, kadang tak bisa disingkirkan satu sama lain. Keduanya bisa saling
bertautan. Kopi, dengan segala label tempat yang mengiringinya: kopi toraja,
kopi lampung, kopi aceh, kopi vietnam,
kopi itali, kopi belitung, dan masih banyak lagi, menjadi minuman yang tak
pelak harus dicoba kala berkunjung ke suatu tempat. Kadang, hanya dengan
membayangkan rasa kopi tersebut, saya bisa merasakan seperti apa suasana hati kala
perjalanan tersebut berlangsung. Semacam penanda rasa untuk mengingat.
Berbagai jenis biji kopi |
Sebutlah tempat
liburan yang paling lumrah dikunjungi orang Indonesia: Pulau Bali. Jikalau
Kawan berkunjung ke Daerah Kintamani, selain menemukan Danau Batur, Gunung
Batur, dan hamparan kebun jeruk dimana-mana, Kawan pun akan menemukan beberapa
tempat peristirahatan (rest area).
Uniknya, tempat ini menawarkan parade pengolahan kopi dan fasilitas ici-icip
gratis kopi beserta minuman olahan lainnya. Di rest area ini juga terdapat miniatur kebun kopi dari berbagai jenis
kopi serta tak ketinggalan sebuah souvenir shop.
Di tempat inilah
untuk pertama kalinya saya melihat Luwak dari dekat. Binatang ini dilepas pada
malam hari ini untuk berkeliaran di kebun dan memakan biji kopi. Siang hari
mereka akan dikurung, sementara biji kopi yang keluar bersama pup dikumpulkan
untuk diolah menjadi kopi termahal di dunia. Harga Kopi Luwak. berkisar 5-6 juta
per kilogram. Dan untuk pertama kalinya juga, saya menyesap secangkir Kopi
Luwak (khusus untuk kopi luwak pengunjung harus tetap membayar). Teguk pertama,
mata saya langsung mengerjap. Bukan pahit. Saya merasa ada semacam proses
fermentasi di dalamnya. Kopi Luwak cenderung berasa asem. Sebuah rasa yang
mungkin hanya akan kaum manusia temukan pada biji kopi yang masuk ke saluran
pencernaan Luwak terlebih dahulu.
Pengolahan kopi di Kintamani, Bali |
Beranjak ke luar
negeri. Apa yang paling saya ingat dari Vietnam?. Kopinya tentu saja. Kawan
belum ke Vietnam
kalau belum mencicipi kopinya. Walaupun hanya sempat berkunjung ke Ho Chi Minh
City dan Hanoi, tetapi saya mengamati,
dan berani menyimpulkan bahwa kopi menjadi semacam minuman wajib dalam
keseharian warga Vietnam. Analoginya, sesering orang Indonesia minum teh. Pengalaman 25
tahun tinggal di Indonesia, saya berani bertaruh 9 dari 10 orang Indonesia
pasti minum teh minimal 1 kali dalam seminggu.
Saya menyaksikan
banyak orang menenteng sebungkus kopi dingin di siang hari yang panas. Cangkir-cangkir
kopi yang tergeletak di tiap sudut warung makan. Dan lumrah saya menemukan
penjual minuman di kaki lima
hampir di tiap 200 meter jalan, tentu dengan menu andalan: kopi.
Subuh
itu, saat udara masih terasa berembun, setelah sholat subuh saya beranjak
meninggalkan hotel. Berbekal peta di tangan, pagi itu saya berencana mengitari
bangunan-bangunan bersejarah di Ho Chi Minh: Reunification Palace,
Ho Chi Minh City Hall, Opera House, dan Notre Damne Catheral. Cahaya matahari
belum tampak kala saya berhenti pada seorang ibu yang menjual minuman di
pinggir jalan. Dengan mengerahkan seluruh kemampuan berbahasa tarzan, saya
berusaha mengatakan bahwa saya menginginkan secangkir kopi susu panas, dan diterjemahkan
si Ibu Penjual sebagai kopi pahit dingin untuk menemani subuh saya. Tak punya
pilihan, saya menyedot kopi yang sudah tersedia. Wow!, rasanya tidak sepahit
yang saya semula kira. Kombinasi plain
kopi beserta es batu ternyata enak banget.
Penjual kopi di Ho Chi Minh City |
Beranjak ke Hanoi, saya masih penasaran dengan kopi susu Vietnam.
Untunglah saat itu di warung makan ada seorang pengunjung yang bisa berbahasa
inggris. Dengan bantuannya, saya memesan Mie Vietnam dan secangkir kopi susu
hangat. Sebuah pengalaman kuliner tak terlupakan, dimana saat itu cuaca Hanoi masih menebarkan
hawa musim dingin. Menurut saya rasa pahit kopi dan manis susu dalam secangkir
kopi susu hangat tersebut berada dalam kadar Light. Pun berlaku untuk kopi Vietnam,
tingkat kepahitannya berada jauh dibawah
level kopi standar yang kerap saya nikmati di Indonesia. Tapi Kawan jangan
percaya dulu, saya tak punya hak mengeneralisasi atas sampling yang bahkan
tidak memenuhi kuota dalam kaedah statistik tersebut. Satu-satunya cara untuk
membuktikan, pergi dan resapilah sendiri.
Ketika melakukan
perjalanan, satu cara orisinal menikmati kopi adalah: mampir ke warung kopi
setempat. Pernah suatu masa di kunjungan pertama saya ke Belitung Timur, waktu
itu di penghujung Bulan Desember. Di tengah hujan deras, bersama motor sewaan
yang tanpa mantel hujan, saya berkeliling tanpa peta riil dan peta digital. Lelah,
dan nyaris menyerah, saya singgah di warung kopi yang terletak di Pasar
Gantong.
Capek yang
mendera dan dingin yang menerpa membuat rasa gorengan yang saya cicipi terasa
nikmat sangat. Boleh jadi gorengan adalah makanan kosmolitan yang tersebar di
seluruh Indonesia.
Tetapi yakinlah Kawan, cara pengolahan, ragam jenis yang tersedia, rasa
tepung penutup pisang, jenis pisang,
besar bakwan, tekstur tahu, dan ukuran tahu: semua detail tersebut menjadi
pembeda yang sungguh terasa. Rasa gorengan di Belitung sangat mirip dengan
gorengan di kampung halaman saya, sebuah kota
kecil yang juga terletak di pesisir Pulau Sumatra.
Tentu saja,
kurang afdol rasanya kalau saya tak mencicipi kopi di warung kopi kota yang mendapat julukan
Negeri Seribu Warung Kopi ini. Karena belum sempat makan siang, saya tak berani
cari perkara dengan lambung. Kafein yang asam akan membuat lambung semakin
perih. Secangkir kopi susu hangat cukup untuk stimulator serotonin di otak.
Enak, enak, enak, di tiap kali tegukan. Hanya itu yang bisa lidah saya kirimkan
ke otak sebagai respon akan rasa si kopi susu.
Bahasa tubuh dan
bahasa lisan seseorang menjadi petunjuk paling kasat mata untuk melakukan
penilaian awal. Petunjuk ini terbaca oleh seorang bapak yang juga sedang
menikmati kopi sambil bersantai di warung tersebut. Seakan tertarik, ia
mendekati saya dan mengajak mengobrol. Si Bapak lalu bercerita bahwa Cut Mini
pernah menginap di rumahnya sewaktu syuting film Laskar Pelangi. Tak mau kalah,
saya pun mengungkapkan bahwa tujuan saya sebenarnya adalah berkunjung ke SD
Laskar Pelangi. “Jadi kalian belum sampai ke SD Laskar Pelangi?”, tanya Si
Bapak, setengah berteriak diantara angin dan hujan yang semakin deras. “Sudah
satu jam kita berkeliling, dan belum ketemu juga. Ini kami mau pulang saja,
sudah terlalu sore”, saya menyahut. Penginapan saya di Tanjung Pandan, butuh
dua setengah jam perjalanan darat dari Manggar.
“Wah, tempatnya
sudah sangat dekat, sayang kalau sudah sampai Gantong, tapi kalian tidak ke sana”.
Diantara belasan
orang yang sudah saya tanyai, dan tetap pada ketidak berhasilan, saya mencoba
opsi terakhir: percaya pada Si Bapak. Kopi kembali menghangatkan tubuh saya.
Semangat membuncah lagi. Arah motor yang sudah akan menuju Manggar saya putar
kembali. Si Bapak memberi wejangan berisi petunjuk jalan yang harus saya
tempuh. Dan dua puluh menit setelahnya, saya berhasil menemukan tempat yang
saya tuju.
See?.
Coffe sometimes made you find the way. The way to come back home, The way to
find the destination.
Tulisan ini juga dimuat di jalanteruus.com
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation