Partikel dalam Selimut Debu

Partikel dalam Selimut Debu




      Dua malam berturut-turut untuk 2 buku tebal ini: Partikel dan Selimut Debu. Benar-benar menguras pikiran dan tentu saja waktu tidur saya yang jadi lebih pendek. Kerja sampai terkantuk-kantuk. But I can’t stop.  Benar-benar candu.
            Partikel, masuk dalam genre science fiction, terkesan sangat superior, bombastis, dan jauh dari jangkauan kehidupan sehari-hari. Sedangkan Selimut Debu bagi saya buku yang sangat humanis. Sumpah, saya jatuh cinta dengan Agustinus Wibowo.
            Dari kedalaman kesan yang saya peroleh, jelas Selimut Debu pemenangnya. Membaca buku ini membuat adrenalin saya membuncah. Membangunkan keinginan untuk mengelilingi dunia.  Menambah besar rasa penasaran terhadap Asia tengah. Menyematkan dalam hati: Someday, I’ll go there.
Agustinus Wibowo menulis berdasarkan pengalaman, sedangkan Dee menulis berdasarkan riset. Tulisan yang dibangun dari sebuah pengalaman, jelas berbeda. Ia seperti hidup dan punya roh.

Andrea Hirata misalnya, kematangan gaya bahasa dan plot dalam buku terakhirnya Padang Bulan memang patut diacungi jempol. Namun bagi saya, Laskar Pelangi tetap yang paling berkesan. Ceritanya benar-benar hidup. Potretnya dapat saya bayangkan dengan jelas. Saya menangis berurai airmata membacanya.

            Membaca Partikel, saya seperti kehilangan cita rasa Dee (Dewi Lestari). Memang Dee berhasil membangun plot cerita yang hebat. Saya membaca selesai magrib, dan menunda makan malam sampai hampir pukul 12, saat lembar terakhir Partikel berhasil saya tuntaskan. Gaya bahasa yang indah, cita rasa khas Dee yang sebelumnya saya nikmati dalam Madre, Filosofi Kopi, Perahu Kertas,  serta serial Supernova sebelumnya. Terus terang saya agak kecewa. Kalimat-kalimat Dee yang indah, itulah yang selalu saya tunggu. Itulah yang membedakan ia dengan penulis-penulis lainnya.

            Partikel bagi saya seperti film garapan Steven Spielberg, sementara karya-karya Dee sebelumnya lebih mirip film garapan Garin Nugroho. Partikel itu bombastis, brillian, dan sangat cerdas. Tapi ada bagian yang hilang, keindahan dan kesederhanaan. Hal yang hanya bisa didapat dalam film-film Garin Nugroho.

Dalam kacamata saya, Partikel merupakan The Da Vinci Code versi Indonesia. Dan sangat banyak mengingatkan saya pada sebuah novel di tahun 2000-an, berjudul Area-X karya Eliza V. Handayani. Ia menulis novel tersebut saat masih duduk di bangku SMA. Karya hebat untuk anak seumurannya. Sayangnya sampai sekarang ia tak pernah muncul lagi.

            Lebih dari itu, dua hari berturut-turut membaca buku seperti ini, memang benar-benar membangunkan keresahan dalam diri. Meski dari dua genre yang berseberangan, science fiction dan catatan pengalaman, tapi apa yang saya tangkap dari dua buku ini hampir sama. Soal pencarian arti jati diri, makna hidup, perjalananan, keberanian, takdir, dan Tuhan.

Post a Comment

0 Comments