Lawang Sewu, Semarang |
Beberapa waktu
lalu, saya kembali berkunjung ke Yogya dan sempat mampir ke Semarang .
Semacam napak tilas, ujar seorang kawan.
Napak tilas yang tentu saja diiringi dengan acara makan-makan. Lebih tepat disebut Napak Tilas Wisata Kuliner di sekitar Semarang dan Yogyakarta
Posting ini semacam menutupi hutang saya yang sepertinya sudah tidak bisa terbayarkan tersebut. Bukankah menuliskan ingatan yang terbaru lebih mudah ketimbang mengorek-ngorek kenangan lama?
.
Toko Oen, Semarang .
Toko Oen |
Toko
Oen Semarang memiliki menu andalan es krim dan berbagai rupa kue kering olahan sendiri.
Teman saya memesan Es Krim Simfoni Oen dan Tuti Fruti Es Krim, yang menurut si pramusaji merupakan
es krim favorit para pelanggan. Saya sendiri memesan memesan Poffertjes Ice
Cream. Unik, ada perpaduan panas dari Poffertjes nya dan sensasi dingin dari es
krimnya.Kalau di lidah saya, rasa es
krimnya sih enak, tanpa embel-embel sangat. Saya bukan penggila es krim dan
jarang makan es krim sih.
Es krim tersebut
saya nikmati bersama sebuh kue yang bentuknya mirip biskuit, dengan ukuran
lebih besar dan tekstur lebih lembut. Nama kuenya sangat ke belanda-belanda-an,
saya lupa sama sekali. Kata kawan saya, kue tersebut rasanya mirip sekali dengan
kue Bangkit (kawan saya ini berasal dari Riau) buatan almarhumah neneknya.
Seolah bernostalgia pada masa kecil, tambah kawan saya tersebut.
Es Krim Oen Simfoni |
Es
krim dan kue bangkit ala belanda tentu hanya sebagai menu pembuka. Siangnya saya
mencoba mencoba kuliner terkenal lainnya di Semarang . Soto Bangkong yang terletak di
perempatan Bangkong.
Menurut
pengamatan lidah saya, tidak ada vetsin yang ditambahkan di dalamnya. Sehingga
rasa soto ini agak plain ketimbang soto-soto lain yang pernah saya cicipi.
Dengan campuran ayam kampung lalu ditambah sate usus, tempe goreng, ati ampela, dan perkedel. Soto
ini memiliki rasa yang khas. Dengan cita rasa demikian, pantas saja soto ini
terkenal dan memiliki banyak pengunjung setia.
Soto Bangkong |
Gudeg Permata yang terletak di Emperan bekas Bioskop Permata, Yogyakarta .
Saya
baru mencicipi gudeg ketika mulai merantau ke Yogyakarta .
Rasanya yang manis tidak cocok dengan lidah sumatra saya. Tapi Gudeg Permata
ini berbeda. Pertama kali saya mencoba karena diajak teman nongkrong hingga tengah
malam, kelaparan terus makan gudeg. Yap.. Gudeg Permata ini buka pukul 21.00,
dan biasa makin ramai menjelang tengah malam.
Menu
favorit saya adalah ayam bagian sayap. Dagingnya sangat empuk ditambah
bumbu yang meresap sampai ke tulang-tulang, serta nasi yang ditanak langsung
menggunakan tungku. Ditemani segerombolan anak muda bersuara merdu yang
menyanyikan lagu nostalgia.
Sebenarnya
warung gudeg ini memiliki nama, namun orang-orang lebih mengenal dengan sebutan
Gudeg Permata, karena letaknya persis di emperan Bioskop Permata. Dulunya
bioskop ini sangat terkenal, namun sayang kini harus tergusur oleh dominasi
brand bioskop yang sudah terkenal. Kalau dari Malioboro, kawan bergerak ke arah
Sayiddan, sampai ketemu pertigaan lalu belok kiri dan gudeg tepat berada di
sebelah kanan jalan.
Ya
mungkin cuma di Gudeg Permata ini saya jadi doyan gudeg, kalau di tempat makan
lain, wah gudeg tetap menjadi menu yang paling saya hindari.
Nasi yang ditanak di tungku - Gudeg Permata |
Lesehan Mas Kobis, Yogyakarta .
Kalau
kawan (mantan) mahasiswa UGM atau UNY, pasti tau dengan lesehan Mas Kobis.
Meski buka dari jam makan siang sampai malam hari, jam berapapun datang ke sana lesehan ini selalu
ramai. Terletak masih di kawasan UNY, menu yang ditawarkan seperti umumnya
lesehan: lele, ayam, tahu, tempe ,
telur, terong, dan ati ampela. Yang membuat istimewa: sambel diulek bersama si
lauk. Lebih istimewanya lagi: si pembeli menentukan jumlah cabe yang mau
diulek, ada yang pesan 5, 10, sampai 30 cabe. Dan yang lebih mengerikan : cabe
tersebut adalah cabe rawit mentah, sodara-sodara.
Herannya,
walaupun kalau makan di sana
selalu berurai air mata sangking pedasnya (padahal saya cuma berani pesab cabe
4), rasa lesehan Mas Kobis ini selalu dirindukan oleh lidah saya.
Kawasan Wisata Angkringan Tugu, Yogyakarta
Selama 6 tahun kuliah di Yogyakarta ,
saya belum pernah sekalipun nongkrong di angkringan kopi joss dekat Stasiun Tugu.
Dulu saya memang jarang banget ngangkring, alasan saya sih klise, ngangkring
itu gak kenyang. Kalau mau nongkrong, saya lebih senang di warung kopi.
Sepulang dari
pantai, demi memenuhi keinginan teman seperjalanan saya yang ngidam makan di
angkringan akhirnya saya mampir ke kawasan ini. Seingat saya, dulu jalan tepat
di samping Stasiun Tugu ini hanya deretan beberapa angkringan. Sekarang jalan sempit tersebut telah menjadi
kawasan wisata angkringan. Terasa lebih modern, karena cara makannya tidak lagi
di gerobak yang dipenuhi makanan dan lampu yang redup.
Secara
random, saya memilih salah satu angkringan. Ternyata saya cukup beruntung, nasi
kucing teri sambal, susu jahe hangat, telur puyuh, dan tak ketinggalan ceker
bakar, semuanya enak dan pas di lidah. Diiringi suara gemuruh tawa yang
membahana dari segala penjuru. Malam minggu yang nikmat yang hanya bisa dinikmati di Yogyakarta.
Angkringan Kopi Joss |
Djendelo café, Togamas, Yogyakarta .
Tempat
kedua yang saya singgahi malam minggu itu adalah Djendelo Café, Berlokasi di
Jl. Gejayan, lebih mirip bale yang dibangun tepat di atas toko buku Toga Mas.
Letak strategis, nyaman, murah, dan minumnya enak-enak. Terutama berbagai rupa
olahan coffe drink dan coklatnya. Sembari menyeruput cappuccino yang dicampur
caramel dan whipped cream, obrolan, bahak tawa, serta cerita saya lanjutkan di
sini bersama beberapa sahabat lama.
Oh
ya tentu saja sembari bernostalgia. Menangkap beberapa potong kenangan di café
ini ;)
Cappucino yang menyeruak kenangan |
Sunday Morning, di UGM Yogyakarta .
Pasar
kaget minggu pagi di kawasan UGM ini menyediakan berbagai jajanan tidak penting,
namun sedikit demi sedikit menguras dompet. Nama
Sunday Morning di Pasar Kaget Minggu Pagi kawasan UGM ini sendiri, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari seorang
teman, adalah nama band yang digawangi anak-anak Fakultas Ilmu Budaya. Band Sunday Morning ini
awalnya rajin perform tiap minggu pagi di sekitar FIB UGM. Keramaian yang dibuat
inilah yang lama kelamaan menjadi pasar kaget tiap minggu pagi di Kawasan UGM yang dikenal dengan nama Sunday Morning.
Dulu favorit
saya kalau ke sana
adalah: cimol, jamur goreng, dan susu murni nasional. Saya nikmati sembari
duduk-duduk di samping GSP dan ngecengin cowok-cowok yang sedang main futsal. Lalu
diakhiri dengan sesi makan lontong padang .
Jaman
dulu jalanan di sekitar GSP dan Masjid Kampus masih bisa dipakai berjualan. Sunday
morning yang sekarang menurut saya sangat crowded dan tidak nyaman. Pedagang
hanya boleh berjualan di sepanjang ruas jalan fakultas ekonomi, lembah sampai
ke fakultas hukum.
Sekian review kuliner Yogyakarta dari saya mantan mahasiswa yang menghabiskan hidup mahasiswanya di Yogyakarta berhati nyaman. Semoga selalu ada alasan untuk kembali ke Yogyakarta. Tentu alasan baik dan dalam keadaan baik. Aamiin
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation