Malam ini, tak ada yang menarik dari acara televisi. Melihat orang marah-marah, mencaci maki, dengan ekspresi mengerikan itu membuat perut saya mual.
Televisi, satu benda yang masih melekat erat dalam keseharian saya, atau kita, atau lebih luas (mungkin) pada masyarakat Indonesia . Meski belakangan, internet dan berbagai gadget, bermunculan dan mendominasi rutinitas sehari-hari. Sehingga saya membayangkan suatu saat akan ada dunia yang mirip negeri penyihir rekaan J.K. Rowling. Berbagai hal dapat disihir dalam bentuk digitalisasi.
Kendati menurut saya, sepak terjang gadget-gadget mutakhir tersebut baru sampai di kota-kota besar. Ketika saya pulang kampung, televisi masih menjadi peralatan wajib dalam menemani rutinitas sehari-hari.
Saya ingat tahun 90-an akhir, saat itu saya masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, rasanya hidup saya tak lepas dari televisi dan majalah remaja. MTV adalah tontonan wajib saya setiap hari. Yang membuat saya berhenti addict menonton televisi adalah saat menginjak bangku SMA. Ketika itu, saya harus tinggal di asrama dengan aturan hanya boleh menonton televisi pada hari sabtu-minggu.
Sejak saat itu saya tak punya ketertarikan lagi untuk menonton televisi. Semenjak kuliah, saya merantau dan nge-kos. Selama 6 tahun pula, saya tidak memerlukan benda berbentuk kotak tersebut. Setiap teman saya maen ke kosan. Mereka hanya akan menemukan tape tua, yang hanya bisa digunakan untuk mendengarkan radio.
Saya ingat, pas awal kuliah, ketika internet masih menjadi barang mahal, dan hanya bisa saya akses seminggu sekali di warnet, itu pun jika uang bulanan cukup berlebih dan tidak terpotong misalnya untuk membeli buku kuliah yang mahalnya minta ampun. Maka yang menjadi asupan informasi saya adalah koran dinding yang terpampang di lobi kampus. Lama-kelamaan, saya lebih senang membunuh waktu senggang dengan membaca buku, nonton film, blogging, berolahraga, ngobrol ma temen, atau jalan-jalan langsung keluar.
Yang bikin saya goblok, kalau ada lelucon tentang iklan dari teman-teman. Saya gak tahu sama sekali. Ketika piala dunia tahun 2010 lalu, dan semua teman-teman saya gonjang ganjing menghebohkan pertandingan. Maka tak ada satu pun pertandingan piala dunia, baik langsung ataupun rekaman yang saya saksikan. , sekalipun. Saya cuma baca berita kalau Spanyol akhirnya jadi juara. But i don’t really care.
Mungkin saya masih masuk golongan orang konvensional. Dan tidak menonton televisi membantu saya memelihara sikap konvensional tersebut. Saya tidak terpengaruh gaya hidup dan glamor yang dipertontonkan televisi. Kalau misalnya internet, kan kita milih situs mana yang ingin dikunjungi. Kalau soal fashion, paling misalnya lagi jalan-jalan ke mall, nonton bioskop, ke pertunjukkan tertentu, atau ke kampus tertentu juga bisa. Yah saya suka merperhatikan style orang. Di mall misalnya gampang banget menemukan orang berbeda dengan fasion mirip, yap kalau sudah begitu saya tahu, fashion yang menjamur tersebut sedang menjadi trend saat ini.
Setahun yang lalu, saat mulai bekerja, akhirnya saya memutuskan membeli televisi. Sebelum membeli televisi, saya sempatkan ke pasar glodok untuk mencari radio. Ternyata harganya tak jauh beda dengan harga televisi. Dengan menggunakan prinsip ekonomi bahwa saya masih bisa mengakses radio menggunakan ponsel, maka saya memutuskan untuk membeli televisi. Bukan apa-apa, menjadi robot di ibukota ini, sering membawa pada rasa kesendiriaan, terutama di malam hari. Karena itulah saya berpikir, barangkali suara yang keluar dari speaker televisi dapat membantu, agar tak begitu sepi di malam hari.
Tapi malam ini saya sadari, bahwa suara yang keluar itu pun membawa aura negatif pada pendengaran saya (sumpah, saya bukan terpengaruh Mario Teguh). Karena itu saya matikan saja benda berbentuk kotak tersebut dan memilih menulis. Its better choice.
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation