This is for myMom

This is for myMom


Bukan Ibu Biasa*

Seperti ibu-ibu lainya di muka bumi ini. Ini cerita tentang ibu saya yang mengabdikan hidupnya untuk keluarga.
with mom
Ibu saya adalah perempuan biasa, seperti kebanyakan wanita Indonesia yang lahir pada awal tahun 50-an. Minim pendidikan, memiliki pola pikir sederhana meski sebenarnya berotak cerdas. Ibu hanya menamatkan pendidikan sampai setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun bagi saya kepintaran ibu tak kalah dengan dosen-dosen yang mengajar saya di perguruan tinggi. Ibu mampu menghitung seperti orang yang mahir menggunakan sempoa imajinasi, lebih cepat dari saya yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat master. Maklumlah selain sebagai ibu rumah tangga, ibu juga menjaga toko kelontong kami yang ada di pasar. Dalam hal mendidik, ibu saya adalah seorang demokratis yang amat saya kagumi. Meskipun ibu tidak pernah belajar teori ilmu politik atau panduan praktis cara mendidik rasa demokrasi anak-anak dalam keluarga. Ibu selalu memberikan pilihan tanpa intimidasi tertentu. Kami, anak-anaknya diajak berpikir sebelum menentukan pilihan. Cara mendidik yang satu inilah yang paling saya kagumi. Sungguh karena hidup hanyalah serangkaian rentetan pilihan. Saya menjadi kritis dan analitis sebelum menentukan satu pilihan. Dan saya harus siap dengan segala konsekuensi yang mengiringi pilihan tersebut.  
Dalam hal mencari nafkah, ayah dan ibu bahu membahu bekerja sama. Ayah seorang wiraswastawan yang sepanjang hidupnya selalu mencari peluang berbisnis sana-sini. Ayah pernah bekerja sebagai pelaut dan kapten kapal barang, mendirikan Commanditaire Vennootschaap (CV) untuk pengerjaan proyek pemerintah, berjualan barang second hand, sampai bisnis eksport kopi, ular, kopra, dan pinang ke Malaysia dan Singapura. Kekaguman saya terhadap ibu semakin bertambah tatkala ayah mulai sakit-sakitan sekitar tahun 2000. Menurut ibu, penyakit ayah disebabkan pekerjaan ayah dulu sebagai pelaut sehingga terlalu sering terkena angin laut, atau masyarakat akrab menyebutnya ‘angin duduk’. Sedangkan menurut diagnosis dokter, ayah menderita komplikasi jantung koroner dan asam urat.

Dengan kondisi ayah yang seperti itu, ibu otomatis menjadi tulang punggung keluarga dengan mengandalkan semata-mata toko kelontong yang kami miliki. Pukul 06.30 ibu sudah berangkat ke pasar dan pulang pukul 16.30 WIB. Sebelum berangkat ibu pasti sudah menyiapkan sarapan pagi, lauk pauk untuk makan siang, dan bersih-bersih rumah. Ibu selalu bangun paling awal, seumur hidup tak pernah sekalipun saya dapati ibu bangun setelah adzan subuh. Sorenya ketika pulang dari pasar, ibu kembali menyiapkan lauk-pauk untuk makan malam dan tidur paling akhir. Apalagi ibu masih harus merawat ayah yang sakit. Waktu itu dua orang kakak sudah menikah dan repot dengan urusan keluarganya. Satu lagi kakak saya sedang kuliah dan hanya pulang setahun dua kali. Saya yang paling kecil tak terlalu cakap mengerjakan urusan rumah tangga.
Selama sakit, ayah berobat mulai dari pengobatan tradisional, obat-obatan herbal, sampai ke dokter spesialis di luar negeri. Tiga tahun terakhir sebelum wafat, ayah rutin berobat ke sebuah Rumah Sakit di Malaka tiap 4 bulan sekali. Selama tenggang waktu 4 bulan tersebut, ibu mencari nafkah dan mengatur keuangan sedemikian rupa agar dapat menabung untuk keperluan berobat. Ibu pula yang menemani ayah berangkat ke Malaka. Jika tabungan yang dikumpulkan sedikit berlebih, ayah dan ibu naik pesawat. Namun seringnya ayah ibu menempuh jalan laut ke Batam dan menyeberang ke Singapur. Kemudian berangkat ke Malaka melewati Kuala Lumpur menggunakan angkutan darat. Kadang-kadang kalau ingin berhemat, ayah dan ibu berangkat ke Kepulauan Riau, nantinya bisa langsung menyeberang ke Malaka. Selama ayah dirawat di Rumah Sakit, karena di sana tidak ada sanak famili satu pun, ibu biasa menginap di losmen sekitar Rumah Sakit. Di sana, ibu tak punya kenalan satu pun, ibu pun tak pandai sama sekali menggunakan bahasa inggris dan boleh dibilang ibu tidak canggih sama sekali. Menggunakan telepon genggam saja ibu tak bisa. Tapi kekuatan cinta dan kasih sayang memang tiada tandingannya. Ibu tetap sedia menemani ayah dalam suka dan duka.
Jika ada definisi belahan jiwa dan cinta sejati mungkin itulah yang saya temukan dalam hubungan ayah dan ibu. Bisa jadi ayahlah satu-satunya laki-laki bukan muhrim yang ibu kenal dengan baik. Ketika berumur 17 tahun, lewat perjodohan yang telah di atur, ibu saya dikenalkan dengan ayah dan tanpa fase pacaran, mereka menikah. Dua tahun yang lalu, akhir tahun 2007, ayah meninggal. Saya sedih, kakak-kakak sedih, terlebih ibu saya. Ibu sekarang terlihat kuyu dan jauh lebih tua meski hanya dalam selang waktu dua tahun. Ibu kehilangan teman terbaiknya mengarungi hidup. Tinggal bersama dan menjalani kehidupan selama 37 tahun menjadikan ayah dan ibu tak terpisahkan satu sama lain. Seperti kiri dan kanan. Seperti atas dan bawah. Seperti langit dan bumi. Akan timpang tanpa salah satunya. Ingin saya menghidupkan kembali ayah yang telah tiada. Tapi manusia mana yang mampu menolak takdir. Begitu pun saya, begitu pun ibu saya. Akan tetapi seorang ibu tetaplah ibu. Tak ada ayah, bukan berarti ibu kehilangan perannya. Ibu masih punya pasokan kasih sayang berlimpah untuk saya, kakak, dan keponakan-keponakan saya. Kebahagiaan ibu saya sekarang adalah kebahagiaan anak-anak dan cucu-cucunya.
Entah stereotip atau memang fenomena, seorang ibu identik dengan masakan rumah. Bagi saya yang telah merantau hampir 7 tahun, masakan ibu tetaplah masakan terbaik di dunia. Saya paling suka momen saat hujan deras, di luar rumah sangat dingin, dan ibu  menghidangkan berbagai camilan dan makanan hangat. Mungkin hidangan tersebut lebih sederhana dari makanan di restoran. Tapi bagi saya momen itu jauh lebih mahal dan tak dapat tergantikan. Tak hanya saya yang merasakan, sering saya temui opini yang sama dari teman-teman bahwa masakan ibu adalah masakan terbaik. Mungkin karena ibu memasak dengan cinta. Mungkin pula karena ibu memasak tanpa pamrih. Tidak seperti rumah makan yang memasak karena alasan ekonomi. Itu yang akhirnya saya sadari kenapa masakan ibu memiliki rasa tiada duanya di dunia.
Kebiasaan di rumah yang paling saya sukai adalah tradisi makan bersama. Paling sering kami makan bersama pagi dan malam. Meskipun sibuk, meskipun saya dan kakak-kakak sedang berseteru, atau meskipun hanya ada masakan sederhana,  kami selalu makan bersama. Jikapun saya dan kakak-kakak sedang mengerjakan hal lain, seperti menonton televisi atau mengerjakan pekerjaan rumah, ayah akan menyuruh menghentikan sementara. Kalau saya atau kakak-kakak sedang main ke rumah tetangga, kami pun harus pulang dulu untuk makan baru boleh bermain lagi. Bahkan kalau ingin keluar rumah, kami baru diizinkan setelah makan bersama. Karena telah menjadi kebiasaan, saya sedih kalau harus pergi dan pulang ketika semua orang rumah sudah makan. Seperti waktu Sekolah Menengah Pertama, bel sekolah selesai pukul 13.30, sehingga hari senin sampai kamis saya terpaksa melewatkan acara makan siang bersama. Bagi saya sungguh tidak enak makan sendirian.
Kenangan makan bersama betul-betul kenangan yang indah. Di rumah tidak ada ruang makan dan kami tidak makan di meja makan. Ayah, ibu, kakak-kakak, dan saya duduk lesehan membentuk lingkaran sambil memperbincangkan apa saja. Mulai dari sekolah, teman, gosip tetangga, utang, kabar sanak saudara, cita-cita, bisnis keluarga, harga sembako, agama, keuangan, tagihan listrik, partai politik, gosip artis, sinetron, sampai soal makanan yang sedang kami nikmati. Namun ayah akan marah jika saya atau kakak memprotes masakan ibu bila terasa kurang sedap. Ayah akan bilang “Ibumu sudah capek-capek masak, coba saja kamu yang masak, apakah bisa seenak ibu?”. Saat dewasa saya terngiang-ngiang ucapan ayah betapa membuat masakan enak itu tidak mudah.
Jika ada lauk tertentu yang istimewa, ibu pasti menyuruh saya, kakak-kakak dan ayah untuk mengambil duluan. Sehingga nantinya ibu hanya mendapatkan potongan paling kecil. Bahkan ketika semua dari kami sengaja menyisakan potongan terbesar, ibu langsung mengganti dengan satu diantara kami yang memperoleh potongan lebih kecil. Tak hanya saat makan bersama, namun ketika ada hal-hal istimewa lainnya yang harus kami bagi sekeluarga, ibu selalu menyisakan dan mengalah mendapat porsi paling kecil. Contoh sederhana di halaman rumah ada sebatang pohon mangga yang rutin berbuah tiap tahunnya. Ketika sedang panen, tiap hari kami dapat menikmati buah mangga. Ibulah yang mengupas, memotong dan selalu mengingatkan untuk menyisakan jika ayah atau salah satu diantaranya anaknya belum pulang.
Sekarang ketika ayah sudah tak ada dan semuanya sudah berubah, tradisi makan bersama tetap ada. Anggota keluarga boleh tak lengkap, tapi ibu selalu ada menyediakan masakan. Sekarang pun momen itu sungguh mahal bagi saya, karena hanya bisa saya menikmati pada saat mudik ke rumah setahun sekali. Ketika di perantauan dan harus makan sendirian, saya selalu ingat saat-saat makan bersama sekeluarga, sungguh kenangan yang amat manis.
Selain pandai berdagang dan memasak, ibu juga pandai mengarang cerita. Ibu melakukan ritual bercerita sebelum saya tidur. Sampai kelas 4 Sekolah Dasar, saya masih tidur dengan ayah dan ibu. Selain karena tak ada kamar kosong, sewaktu kecil saya sangat lengket dengan ibu. Saya tidak bisa tidur jika tidak ada ibu di samping saya. Dan saya tidak bisa berpisah dengan ibu barang sehari semalam saja. Sampai sanak saudara bilang bahwa saya adalah buntut ibu karena mengekor terus kemana ibu pergi.
Banyak hal yang ibu ceritakan, namun yang paling sering tentang dunia fabel. Tokoh kegemaran ibu adalah Pak Buaya, Kelinci dan Biawak. Sebelum cerita selesai, biasanya saya sudah terlelap. Dan ibu membangunkan saya lagi agar saya selalu ingat berdoa sebelum tidur. Ibu bilang supaya saya tidak mimpi buruk. Kalau saya sukar tidur, ibu akan menepuk (maaf) bokong saya sambil bernyanyi. Hal tersebut sangat mujarab membuat saya mengantuk. Kadang saya berpura-pura sukar tidur, hanya agar ibu mau menepuk bokong saya sambil bersenandung nina bobo. Sampai saat ini saya masih penasaran apakah memang secara ilimiah di bokong terdapat impuls saraf yang berhubungan langsung dengan respon tidur yang ada di otak.
Sekarang ketika telah berusia senja, ibu masih suka menceritakan kisah-kisah fabel dan bersenandung nina bobo sambil menepuk bokong, Namun bedanya saat ini yang menikmati adalah keponakan-keponakan saya. Ketika cucu pertama ibu lahir, sebagai anak bungsu yang selalu dimanja, saya sempat dibuat iri dan takut kehilangan perhatian ibu. Tapi seiring berjalannya waktu, bahkan ketika sekarang keponakan sudah berjumlah 5 orang, ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya jadi ingat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa kasih sayang itu tidak terbagi, namun berlipat ganda.
Kejadian sewaktu mudik lebaran 1430 H lalu sungguh membuat saya terharu memiliki ibu dengan kasih sayang luar biasa. Hari lebaran kedua idul fitri, ibu bersama kakak yang paling tua pergi ke luar kota. Sebenarnya saya pun diajak, tapi saya sedang tak ingin bepergian. Sorenya ketika pulang dari bersillaturahmi sana sini ke tempat teman, ibu dan kakak sudah pergi. Listrik di rumah pun sedang padam. Malas di rumah, saya pun pergi main ke tempat seorang teman. Pulangnya karena kecapaian, saya langsung tertidur dan belum sempat makan. Saya terbangun ketika handphone saya berdering, panggilan dari nomor kakak. Di ujung sana saya mendengar suara ibu. Rupanya ibu mengkhawatirkan apakah saya sudah makan atau belum. Karena baru saja terlelap, suara saya di telepon terdengar serak. Ibu lantas mengira saya menangis karena belum makan dan sendirian di rumah. Samar-samar saya pun mendengar ibu ikut menangis. Mungkin ibu membayangkan saya yang sendirian di rumah, gelap tak ada listrik dan belum makan pula. Sungguh saya tak makan memang karena saya tidak lapar. Saya menjadi merasa bersalah. Usia 23 tahun ternyata tetap tak membuat ibu berhenti memikirkan saya, anaknya.
Begitulah ibu. Selalu mengalah demi keluarganya, suami dan anak-anaknya. Selalu khawatir, tentang keluarga, suami dan anak-anaknya. Sampai-sampai saya kadang mempertanyakan dalam hati. Sebegitu besarkah kekuatan kasih sayang hingga mampu mengerdilkan ego manusia. Sebab saya masih memiliki ego tinggi. Ego yang cukup besar untuk menghalau rasa mengalah. Akankah suatu saat saya mampu menjalankan peran ibu?. Sebenar-benarnya ibu dengan lautan luas kasih sayang yang dimiliki untuk mendidik anak dan mendampingi suami. Sungguh diantara berbagai hasrat muda yang saya miliki, tetap saya ingini akhir memiliki keluarga bahagia. Punya suami yang membimbing dunia akhirat, punya keluarga sakinah, dan mampu menjadikan rumah sebagai istana bagi keluarga.
Ibu sekarang hampir menginjak usia 56 tahun. Setiap saya pulang ke rumah dari tahun ke tahun, saya tahu ibu makin renta. Baik dari kerutan wajah, dari kondisi fisik, dari olah tubuh ibu yang tidak selincah dahulu, serta komplikasi penyakit yang terus bertambah parah. Selain berusaha terus membahagiakan ibu, saya selalu berdoa kepada Tuhan bahwa tak ada tempat terbaik bagi seorang ibu yang telah mengabdikan lebih dari separuh hidupnya untuk keluarga, selain surga. Saya tidak tahu lagi bagaimana caranya membalas semua kebaikan yang ibu berikan.
Inilah cerita tentang ibu saya. Ibu biasa dengan segala keluarbiasaannya. Karena tak ada ibu biasa di dunia ini. Karena perempuan yang telah memiliki predikat ibu, pastilah telah melakukan hal luar biasa dalam hidupnya. Karena itu patut ia disebut sebagai Ibu.[Rika]
* Esai ini pernah saya ikutkan dan masuk nominasi dalam lomba Esai Tentang Ibu yang diadakan Word Smart Center

Post a Comment

1 Comments

thanks for your comment.

will be shown after moderation