*
regret |
Kau memang sudah mengenal dia jauh sebelum kau mengenal aku. Tapi kau dan dia hanya sebatas teman sekedar tahu nama. Kau mengenalnya karena kalian sama-sama masuk ekstrakurikuler kajian ilmiah dan penelitian. Aku mengenalnya karena ia adalah temen sekelasku yang kemudian menjadi sobatku. Lalu aku mengenal kau dan jatuh cinta. Sebagai teman dekat, aku mengenalkan kau padanya. Lalu dia menjadi mengenal kau karena aku. Dan kau menjadi mengenal dia karena aku pula.
Aku tahu aku merasa sedikit minder jika sesekali mendengar obrolan kalian yang terdengar sangat ilmiah di telingaku. Aku hanya tertarik soal playstation, sepakbola, gitar, dan dunia maya. Empat hal yang sering kau umpat. Kau bilang benci sepakbola karena sepakbola sering menggeser prioritas kepentingan pacarmu. Playstation dan internet adalah hasil kecanggihan teknologi yang dimanfaatkan menjadi produk kapitalisme. Sedangkan gitar adalah benda asing bagimu, layaknya seorang yang seumur hidupnya tinggal di lereng gunung dan tiba-tiba suatu hari diajak bermain di pantai. Tapi empat hal tersebut merupakan segala-galanya bagiku tentunya setelah dirimu.
*
Siang itu kau pergi bersama dia. Kubiarkan saja, karena kutahu, engkau tahu, dan dia tahu bahwa kau milikkku dan aku milikmu. Kita telah berpacaran 2 tahun lebih1 bulan 7 hari. Tapi ternyata pengetahuan sekedar tahu saja tak cukup menyangkal rasa. Pengetahuan tersebut tak cukup menangkis rasa yang menjalar dan tumbuh tanpa perlu dipelihara.
Siang itu aku menginginkan kau pergi dengannya karena aku tak bisa menjagamu. Ada interview kerjaan. Sudah 5 bulan aku wisuda dan statusku masih pengangguran. Aku harus memperoleh pekerjaan. Sebuah modal utama bagiku jika ingin melamarmu. Aku bingung, karena sedari kemarin kau merengek ingin ditemani ke pameran komputer. Aku paling sulit untuk menolak permintaanmu. Segenap keinginanku saat ini hanyalah melindungimu, terus dan selalu. Aku pergi ke markas, tempat biasa anak-anak sedang mengumpul, menenangkan diri sebelum wawancara pertamaku. Ngobrol ngalur ngidul sana sini. Tak ketinggalan ia membicarakan pameran komputer yang ingin didatanginya hari itu. Tiba-tiba saja meluncur dari bibirku bahwa pacarku juga ingin ke sana dan aku tak bisa menemani. Ia lantas menyetujui untuk pergi bersama kau. Sebuah kesalahan pertama yang membuat aku menyesal seumur hidup.
Matahari sudah hampir beranjak hilang. Aku masih menunggu di markas. Aku masih dengan setelan kemeja dan celana pantolan rapi yang tadi kukenakan saat wawancara. Belum mandi dan belum makan. Di luar hujan. Aku mulai merasakan ada pertanda buruk.
Aku kenal betul deru motor miliknya. Setengah menit kemudian kulihat bayangan kau dan dia. Sekujur tubuhmu basah. Aku tahu kau paling tak tahan dengan air hujan. Tiap jalan denganku, biarpun cuma hujan rintik kau akan merengek supaya mengenakan mantel. Lima menit saja terkena hujan, kau akan bersin-bersin dan terkadang asmamu kambuh.
Awalnya aku khawatir. Lalu kulihat sekujur tubuhnya juga basah. Bukan basah yang menyusahkan. Tapi basah yang menggembirakan, karena lewat basah yang memberi dingin, kutahu kau dan dia saling memberi kehangatan.
Kau mendatangiku sambil menyunggingkan senyum manis. Aku lalu mengacak-acak rambutmu yang sudah berantakan.
Kenapa tidak pake mantel?aku tak mau kau sakit, sayang.
Tapi tak jadi ku ucapkan kalimat itu. Ada dia di sana, aku takut ia tersinggung. Mungkin saja saat itu ia memang tidak sedang membawa mantel. Dan aku harusnya mengucapkan terima kasih karena telah menemanimu.
” Sory ya cewekmu jadi basah begini”. Seolah ia tahu pikiranku.
”Gak apa-apa kok, di sana tadi hujannya belum deras”. Kau menjawab sebelum sempat aku membalas.
” Yuk...kita pulang”, aku berseru tergesa-gesa.
Maka dengan tawa yang senada, kau dan dia saling mengucapkan salam berpisah. Ku tancap gas motor sekuat tenaga. Aku ingin membawamu pergi jauh-jauh dari dia, secepatnya.
Di perjalanan, kau berceloteh terus tentang pameran yang kau kunjungi. Sepertinya kau tak keberatan pergi dengannya, bahkan kelihatan kau sangat senang. Aku sedikit kecewa.
*
Sudah dua bulan semenjak kejadian sore itu. Kadang-kadang kau masih menyebutnya diantara perbincangan makan malam kita. Aku jengah. Tapi kujawab juga beberapa pertanyaan yang kau tanya mengenai dia. Aku tak pernah lagi mengajakmu nogkrong di markas. Aku tak ingin kau menemukannya dan tawa senada itu pecah lagi.
Beberapa waktu lalu aku meminjam handphonemu untuk mengirim SMS karena sedang tak punya pulsa. Sebenarnya aku bukan orang yang senang mengobrak-abrik privasi orang lain sekalipun itu pacarku. Tapi aku berdalih, ini semua demi hubungan kami. Jempolku menjelajahi keypad, membaca satu persatu inboxmu. Benar saja, kutemukan beberapa SMS darinya. Bukan sms mesra, bukan pula dengan nada menggoda. Namun tetap saja aku cemburu.
Di situs jejaring sosial ternyata komunikasi antara kau dan dia semakin intens. Pikiran buruk mendera. Jangan-jangan tanpa sepengetahuanku, kau sering chatting dengannya. Aku iri. Kecemburuanku semakin menjadi.
Aku bukan orang yang gampang mengekspresikan emosi. Jika marah, aku lebih memilih diam. Tak mungkin aku mengutarakan rasa cemburu dengan bukti tak kuat seperti ini. Kedengaran tanpa logika jika kukatakan aku cemburu karena dapat merasakan tawa mereka yang senada dan tersimpan sesuatu yang tak biasa. Sekalipun itu benar. Aku dapat merasakannya dan aku tidak sedang bermimpi.
*
Akhirnya aku diterima bekerja dan harus berangkat ke pulau seberang. Meski awalnya aku agak ragu menerima tawaran tersebut. Banyak hal yang membebani pikiranku. Kau salah satunya. Pergi meninggalkanmu bisa jadi satu langkah awal aku kehilanganmu. Tetapi menjadi pengangguran terus-menerus hanya akan membuatku menjadi pecundang yang tidak pantas untukmu.
Kau bilang akan mendukungku selama itu yang terbaik untukku. Aku tahu kau tulus. Untuk itu aku berjanji padamu bahwa aku pasti kembali. Aku akan pulang untuk melamarmu.
Sebenarnya aku agak sedikit ragu menjanjikan hal tersebut. Jarak dan waktu bukan hal yang gampang dilalui untuk sebuah hubungan. Banyak contoh kasus yang membuatku berpikir seperti itu.
Apalagi dua setengah tahun telah membuat kau sangat tergantung padaku. Menemani makan, membelikan obat datang bulan, mengurusi motormu yang sering mogok, membasmi virus di laptopmu, mengecat kamarmu, menjemput di stasiun, menemanimu bicara di telpon saat kau tak bisa tidur, menemani jogging, nonton film bareng, dan mengangkat galon air mineral. Kepergianku bisa jadi akan membuatmu gamang. Aku sayang padamu, aku tak ingin kau sendirian ketika aku pergi. Membayangkannnya saja sudah membuat hatiku miris.
Kau wanita cerdas. Kau tidak akan membiarkan dirimu terpuruk. Kau pasti akan mencari tempat lain untuk bergantung. Sebenarnya aku ada niat untuk menawarkan dia agar bisa menjagamu selama aku pergi. Dia satu-satunya teman laki-laki yang bisa kupercaya. Dia selalu bersikap baik pada perempuan. Sopan namun melindungi.
Tapi bukankah itu sama bodohnya dengan menyuruh kucing menjaga ikan. Rasa sayang tidak akan membuat aku menjadi sebodoh itu.
”Mas, kapan akan pulang lagi ke sini?”.
”Aku pasti pulang, sayang”. Aku tak berani menjanjikan kapan aku pulang. Kontrak kerja selama 1 tahun telah aku tanda tangani. Tapi aku pasti pulang.
”Aku sedih mas..., aku benci perpisahan”. Suaramu hampir terisak.
Jangan menangis sayang, aku juga berat menjalani ini. Tapi aku harus. Kita gak bisa hanya makan cinta.
Kuusap rambutmu dan kukecup keningmu. Aku diam seribu bahasa.
”Mas, kalau di sana ketemu dengan cewek lain yang ternyata lebih baik. Lalu rasa sayang mas ke aku mulai hilang, mas harus jujur. Kita harus realistis. Mas harus bilang ke aku. Karena aku paling benci dikhianati.”
Aku mengangguk pelan. Dan malam itu berlalu dengan cerita kenangan indah dua setengah tahun kita bersama. Aku menahan mulutku untuk tidak sesumbar membicarakan janji. Sesuatu yang abstrak bagi laki-laki seperti aku yang belum memiliki apa-apa selain cinta.
*
Hari itu datang juga. Kau melepasku di terminal keberangkatan bandara. Dia juga melepasku bersama beberapa sobatku. Dia salah satu sahabat terbaikku. Sepatutnya aku tak boleh curiga. Tapi apalah daya, getar rasa yang ada sungguh terbaca dengan jelas.
Panggilan terakhir penumpang pesawatku dikumandangkan. Aku menghapus airmatamu dan beranjak menuju pintu masuk keberangkatan.
Sebelum belokan menuju tangga, aku ingin menoleh sekali lagi padamu. Dari arah punggungku, aku mendengar suara tawa senada itu pecah lagi. Aku tahu itu suaramu yang serak karena habis menangis dan suaranya yang berusaha menghiburmu. Aku tak jadi menoleh. Saat itu aku menjadi lebih yakin, aku telah kehilangan segalanya.
Yogyakarta. Maret 2010
1 Comments
bagus saya senang dengan cerpennya...
ReplyDeletethanks for your comment.
will be shown after moderation