In many way, people
change. Yes, people change definitely.
Berubah
dalam arti, bisa diibaratkan seperti bunglon, mengikuti lingkungan tempat mereka berada.
Saya pernah iseng menghitung ada berapa orang yang
melemparkan senyum saat berpapasan, misal di lift, ketika menginap di sebuah
hotel berbintang. Saya sampai pada kesimpulan: semakin banyak bintang yang
dimiliki sebuah hotel, maka semakin sulit menemukan pengunjung yang tersenyum
saat berpapasan.
Lain halnya di hostel atau hotel
kelas Melati. Lagi-lagi saya mencoba menghitung. Saya sampai pada angka lebih dari lima jari.
Sepertiga dari orang yang tersenyum itu biasanya akan melanjutkan dengan sapaan
atau obrolan singkat.
Lalu bandara, sebuah tempat yang menyimpan banyak kisah tentang orang-oranng
yang saling menyapa satu sama lain tanpa mengenal sebelumnya. Kalau lagi banyak
kerjaan dan ingin menyendiri, pergilah ke eksekutif lounge. Wangi, tidak berisik, dan terasa ada batas
antara satu manusia dengan manusia lainnya. Tapi terus terang, seringnya saya
lebih senang menunggu di ruang tunggu umum. Ada banyak hal yang dilihat. Ada
banyak hal yang bisa diperhatikan, dan ada saja yang menyapa. Meski seringnya
yang menyapa saya itu ibu-ibu, padahal ngarepnya mas ganteng yang duduk tepat
di sebelah si ibu :p
Sampel lain, misal saat perjalanan kereta jarak jauh. Saya
pernah punya pengalaman menumpang kereta ekonomi jurusan Jakarta-Jogja seharga 38 ribu. Butuh lebih dari dua belas jam, bising oleh
pedagang asongan, berbau busuk, berhenti lebih darin hitungan jari dan tangan
saya. Dan pada akhir perjalanan, saya
malah saling mengenal penumpang dua baris
kursi ke depan dan ke belakang. Itu terjadi sudah beberapa tahun lalu memang.
Sekarang, mungkin lebih banyak yang asyik dengan gadget masing-masing. Tapi
bagi saya, tetap terasa ada ruang yang membedakan saat menjadi penumpang kereta
kelas eksekutif. Semacam ruang yang membuat suasana terasa
lebih tenang dan aman. Yang seringnya menggiring pada keterasingan.
Belakangan saya banyak
mengeksplore rumah sakit. Dari Surabaya hingga Medan. Lagi-lagi merunut pada
satu kesimpulan yang terbilang dangkal: Semakin mewah rumah sakitnya, semakin songong pasien-pasiennya. Dua tahun
sebelumnya, saya bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah. Sembilan puluh persen komposisi rawat inap
adalah kelas tiga. Sembilan puluh persen pula komposisi pasiennya adalah warga
dengan ekonomi menengah ke bawah. Setiap hari saya berinteraksi dengan keluarga
pasien. Meski kadang suka ribut, gak tau aturan, suka ngeyel padahal salah, dan
jorok minta ampun, tapi saya merasakan berinteraksi dalam kebaikan, keramahan,
dan ketulusan. Iya tulus, sesuatu yang bisa membedakan seseorang dengan yang
lainnya. Kesan yang langsung bisa ditangkap sepersekian detik.
Saya
tidak tahu. Bunglonkah yang mengajari manusia? Ataukah bunglon hanya mimikri
dari tabiat dasar yang memang dimiliki tiap manusia. Jasad sama, nama sama,
individu yang sama. Lingkungan membuat manusia berlaku beda. You eat burger or you have fine dining, then
you’ll be totally being different person.
People change in many
way. Environment does perfectly.
0 Comments
thanks for your comment.
will be shown after moderation