White shores |
Dimana ada kemauan, di
situ ada jalan. Keinginan cuma satu, jalan-jalan. Tujuan awal saya sebenarnya ingin ke Pulau
Belitung. Ternyata tiket luar biasa mahal. Kala itu bertepatan dengan event
Sail Belitung. Sehingga sementara saya mencoret Belitung dalam list.
Opsi lain adalah ke
Bali, tetapi harga tiket ke Denpasar tak mau kalah mahal dengan tiket ke
Tanjung Pandang. Mahal juga
Lalu berburu tiket
lagi, akhirnya saya dan kawan seperjalanan memutuskan ke Makassar. Sudah
dua kali booking tiket, tapi saya ragu, Makassar itu menarik tapi saya belum
kebelet ingin ke sana. Iseng mencari tiket lagi, akhirnya ada tiket promo
500 ribu sekali jalan rute Jakarta-Lombok menggunakan pesawat Lion Air.
Lalu sabtu-minggu itu
serasa seperti mimpi. Ya, saya menggunakan weekend untuk liburan ke Lombok. Bersama seorang kawan lama, saya pergi menuju Lombok.
Dari Jakarta, saya naik penerbangan paling pagi. Tiba di Bandara
International Lombok (BIL) yang masih bau cat. Memang Bandara Internasional Lombok ini baru saya diresmikan. Belum ada dua minggu. Dengan waktu yang singkat, tujuan utama saya ke Lombok hanya mengunjungi Gili Trawangan. Menikmati pantai dan senja yang tersohor
eloknya.
Namanya backpacker, ongkos
transportasi dalam kota selalu diperhitungkan masak-masak. Terlebih masalah
klasik daerah-daerah di luar Pulau Jawa, transportasi umum merupakan barang
langka. Dari Bandara Lombok, Kawan bisa menggunakan damri. Bus Damri di BIL hanya ada satu rute, yakni dari Bandara menuju Kota Mataram dan berakhir di
Senggigi. Maka itulah satu-satunya transportasi umum yang bisa saya naiki. Dan
barangkali di Sengigi, saya akan menemukan cara menuju pelabuhan penyeberangan
ke Gili Trawangan.
Di bandara, saya
sempat menghampiri konter travel agen menanyakan mengenai penginapan di Gili
Trawangan. Ternyata biayanya cukup tinggi. Sempat ketar-ketir juga. Apalagi
menurut informasi dari seorang teman, di sana tak ada listrik, tak
ada ATM. Hanya mengandalkan uang cash yang saya dan kawan saya bawa. Ternyata
setibanya di Gili Trawangan, jangankan ATM, di sana juga tersedia
beberapa money changer. Pelajaran moral pertama, re-check lagi informasi yang
belum jelas kebenarannya.
Awalnya saya
membayangkan akan banyak travel agen dan persewaan motor di Daerah Sengiggi.
Lalu saya bisa menyewa motor menuju Pelabuhan. Ternyata, Sengggi tidak seramai
daerah Kuta, Bali. Ketika sudah hampir mendekati pool damri, saya diturunkan di
tempat sebuah agen perjalanan wisata. Lagi-lagi, rencana bisa berubah. Waktu
tempuh dari Sengigi ke Pelabuhan Bangsal sekitar 45 menit dengan medan jalan
naik-turun. Termakan penawaran dari staf travel agen, akhirnya saya memilih satu paket transportasi: mobil antar
jemput Senggigi-Pelabuhan Bangsal - Senggigi, penyebrangan bolak balik Gili
Trawangan-Pelabuhan, sewa motor, dan damri ke bandara cukup IDR
200k/person. Damri dari Sengigi tidak selalu ada. Kalau sedang tidak ada
penumpang, Damri beroperasi dari Mataram. Jadi sebaiknya harus di booking dulu.
*
Sesampainya di Gili
Trawangan, rasanya tidak seperti berada di negeri sendiri. Gili Trawangan didominasi wisatawan
ras kaukasoid, deretan pub dan café yang menawarkan western food, siaran channe-channel asing, serta penduduknya yang
lebih jago bahasa inggris ketimbang bahasa indonesia. Sore itu sedang ada
siaran pertandingan rugby, turis-turis berbondong-bondong ke café,
lalu riuh rendah suara membahana di pulau kecil itu. Bukankah di Indonesia
suasana tersebut lebih identik dengan pertandingan sepakbola?.
Untuk mengelilingi Pulau Gili Trawangan, saya memilih menyewa sepeda. Harga sewa sepeda per hari 50 ribu, tapi saya
berhasil menyewa sepeda dengan biaya 15 ribu. Di Gili Trawangan tidak ada
kendaraan bermotor. Oh ya senja di sana sangat indah. Dengan
mengendarai sepeda, terseok-seok melewati jalanan yang didominasi pasir putih,
saya menuju Sunset Point. Tempat ini adalah sisi terbaik di Gili Trawangan
untuk menikmati matahari tenggelam.
Malam hari, makan
besar cukup di Pasar Seni. Tempat ini semacam lapangan yang penuh deretan
penjual makanan dan tentu saja turis. JIka kocek sedang tak bersahabat, makan
di Pasar Seni ini tentu lebih baik ketimbang makan malam di café atau
restaurant. Setelahnya, saya nongkrong di café, tepat dipinggir pantai, dengan
pesanan hanya secangkir jus saja. Sayang pukul 11.00 café sudah tutup. Cukup
mengherankan, Di Gili Trawangan notabene 90% wisatawan adalah bule
yang gila party. Usut punya usut, rupanya pesta sudah berlangsung kemarin
malam, semacam Friday Night
party. Oh ya kalau soal biaya, untuk ukuran tempat sebagus ini,
menurut saya masih relatif murah. Peralatan snorkeling bisa disewa seharga 25
ribu mulai dari pukul 6 pagi sampai 6 sore. Kalau gak mau ke tengah naik kapal,
cukup snorkeling di pinggir pantai yang masih jernih. Soal penginapan juga
masih terjangkau. Ada banyak penginapa murah di Gili Trawangan. Saya dapat penginapan di kamar seharga IDR 100 K/night. Kalau bisa extend
libur lebih lama, banyak tourism agent yang menyediakan kapal
langsung ke Labuan Bajo dengan tujuan Pulau Komodo atau tiket Fery
ke Bali.
Ada kejadian
menarik, saat memarkir sepeda malam hari di Pasar Seni. Ketika akan pulang,
saya kaget setengah mampus karena sepedanya hilang. Panik juga, sampai seorang
pedagang minuman dekat parkiran mendekati saya dan bilang sepedanya dibawa sama
yang punya. Oh..ya sudah, batin saya. Lalu saya meneruskan jalan-jalan (pakai
kaki), saya menemukan sepeda itu teronggok masih bersama pocari swe*t saya di
keranjangnya. Besok saat mau pulang, saya bilang ke mas yang menyewakan kalau
tadi malam sepeda tersebut diambil yang punya. Mas nya malah terkejut, saya pun
bingung. Sepertinya kepemilikan barang di pulau sekecil itu memang sulit
ditandai. Sampai sekarang saya gak tahu kelanjutan cerita sepeda itu. Pelajaran
moral no.2 jagalah barang-barang baik milik sendiri maupun barang sewaan.
Sunset Point |
Cafe di tepi pantai |
Penginapan |
Sekitar pukul 10 pagi, saya menyeberang menuju Pelabuhan Bangsal untuk kembali
ke Pulau Lombok. Dari Pelabuhan Bangsal, saya naik Cidomo menuju terminal, ongkosnya 15
ribu untuk 2 orang. Cidomo merupakan kendaraan khas lombok, dijalankan oleh
seekor kuda dan hanya memuat 2-3 orang
penumpang.
Dari Terminal ini, saya sudah dijemput travel agent untuk diantar ke Senggigi. Sekitar
pukul 11 hari minggu siang, saya tiba kembali di Daerah Wisata Senggigi. Sebuah
skuter sewaan sudah menanti untuk diajak berkeliling. Tujuan pertama, Pura Ratu
Bolong yang terletak di pinggir Pantai Senggigi. Waktu itu sedang ada upacara,
sehingga hanya bisa foto-foto dari luar. Lanjut tujuan kedua, tentu saja
berkeliling kota mataram. Tanpa peta, tanpa petunjuk apapun.
Sengigi-Mataram
menggunakan skuter sekitar 30 menit. Menjelang siang, perut sudah keroncongan.
Keliling-keliling, ketemu satu resto ayam taliwang. Agak sepi memang, tapi
dengan keyakinan, saya tetap mencoba. Tak sia-sia keyakinan tersebut, sambal
plecing kangkung dan Ayam Taliwangnya enak sekali.
Di
Mataram itu banyak jalan satu arah. Beberapa kali saya bertanya, dan entah mengapa
penduduk di sana sulit menjelaskan sesuatu. Perlu beberapa kali
mengkonfirmasi pada orang berbeda hanya untuk satu pertanyaan. Prediksi saya
sih karena kendala bahasa yang sulit dimengerti.
Kuliner: Ayam Taliwang H. Moerad |
Perjalanan pulang dari
Kota Mataram, mampir foto-foto di bandara lombok yang lama, lalu ke pusat
cendera mata, beli oleh-oleh mutiara dan kaos bertuliskan Lombok. Kembali ke
Sengigi untuk mengembalikan skuter sewaan. Pukul 4 sore, Damri yang akan
mengangkut ke bandara sudah siap sedia. Lagi-lagi hanya ada 5 penumpang, 3
orang bule dan sisanya saya dan kawan seperjalanan. Di tengah jalan, Damri
berpapasan dengan serombongan orang, menghadang jalan, sambil teriak-teriak.
Terbesit juga jangan-jangan ada kerusuhan. Penumpang bule malah kelihatan kaget
dan takut. Tapi tenang, Indonesia memang kaya akan tradisi. Ternyata
kericuhan tersebut adalah bagian dari upacara adat memeriahkan acara sunatan.
Ke Lombok kali ini
memang macam petir. Tiba-tiba dan sangat singkat. Tapi kadang kala singkatnya
waktu membuat perjalanan menjadi bermakna. Mungkin karena tipikal saya yang
suka spontanitas, I always enjoy of being somewhere, nothing to do,
nothing to think. The joy of enjoying. Bukankah hidup begitu? Cukup
dinikmati.
Jakarta, Desember 2011
9 Comments
Pengen backpacking-an bareng :D
ReplyDeleteayoookkk Yona... atur aja
ReplyDeletembaknya...
ReplyDeletesaya dalam waktu dekat ini juga mau backpacking ke lombok.
boleh share dapet tiket promo dari mana?
Thanks in advance :)
kereeennnnnn.. postingannya bikin ngiler semua..
ReplyDelete*Ngelap iler Enny
ReplyDeletemauu info buat CP pnginapan dsana yang murah dongg?
ReplyDeleterencananya tgl 5 okt 2012 saya mau ksana :)
Saya malah kurang suka dengan spontanitas mbak,.. Lebih suka perencanaan yang matang. :)
ReplyDeleteBeberapa kali ke Lombok, beberapa kali ke Senggigi, tapi belum pernah ke Gili. Nantilah, kapan-kapan... Semoga bisa. Hehe
Salam.
ReplyDeleteperjalanan singkat yang mantep, tp lebih mantep lagi kalo nama dan CP penginapan murah di Gilinya bisa di share. hehehe
sama dengan saya, bbrp kali traveling dg modal nekat, malem2 sms-an sm temen mw maen k t4nya, paginya brngkt sendirian, :D :D
ReplyDeletethanks for your comment.
will be shown after moderation