Rasanya waktu itu dunia saya hanya berupa hitam. Tanpa alasan jelas, laki-laki yang sudah saya pacari selama 3 tahun tiba-tiba memutuskan hubungan. Seminggu kemudian kakak saya yang kedua meninggal dunia. Lalu tiga minggu kemudian, saya adalah orang pertama yang diberitahukan dokter bahwa ibu mengidap kanker. Biasanya saya orang yang selalu optimis meskipun sedang terpuruk. Tapi saat itu, saya rasanya tidak ingin bangkit lagi. Saya hilang arah.
But life must go on. Ibu yang sudah ditinggal papa, lalu kakak, dan sekarang divonis kanker saja masih bisa tertawa dan punya semangat hidup. Lalu kenapa saya yang masih muda begini gak punya semangat buat bangkit. Dengan segala jatuh bangunnya, saya cuma berpiikir, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang mari fokus ke pengobatan ibu.
Penanganan kanker itu cuma ada 3 yakni operasi, radioterapi, dan kemoterapi. Di Indonesia saya menemui dua dokter yang berbeda. Dan mereka sudah angkat tangan untuk operasi dan radioterapi. Satu-satunya jalan adalah kemoterapi.
Awalnya ibu menolak di kemoterapi, saya pun sebenarnya kurang setuju selama masih ada jalan lain. Kemoterapi itu sakit banget. Tiga bulan berburu dengan segala pengobatan alternatif, akhirnya kami menyerah dan kembali ke pengobatan konvensional.
Dulu saya menganggap orang yang berobat sampai harus keluar negeri itu hanya sok-sok saja mengejar gengsi. Memangnya di Indonesia tidak ada tenaga kesehatan yang professional. Tapi sekarang saya menarik kembali kesimpulan saya yang dulu.
Tak usah saya ceritakan bagaimana mengecewakannya pelayanan kesehatan di Indonesia . Saya sebagai tenaga kesehatan di sebuah sarana kesehatan tidak akan membela diri. Kenyataannya memang sangat menyedihkan.
Selain rasa kecewa, saya punya beberapa alasan logis lain yang lebih patut. Setelah berembuk dengan kakak, kami sepakat membawa ibu ke Beacon International Specialist Center. Specialist center khusus kanker ini, merupakan satu-satunya di Asia Pasifik.Terletak di Petaling Jaya, sebuah kota satelit berjarak sekitar 20 menit dari Kuala Lumpur (KL). Yang memimpin klinik ini merupakan ketua asosiasi onkologi di Malaysia . Tidak sebesar RS tempat saya bekerja memang, tapi sangat homy. Semua pasien yang berobat di RS ini adalah penderita kanker yang mana pengobatannya tidak sekali dua kali. Mulai dari satpam, humas, pharmacist, manager operasional, dokter, perawat, cleaning service, sampai pelayan kantin semua menyapa dan mengenal kami. Berhubung tesis saya tentang marketing, saya banyak belajar bagaimana cara membina hubungan dengan pelanggan. Okay, practically they good in this way.
Beacon International Specialist Center |
Alasan kedua, saya sendiri tinggal di ibukota dalam rangka mengais rezeki. Hidup sebagai people in working class, dengan penghasilan yang dicukup-cukupkan untuk kebutuhan primer dan sedikit jalan-jalan. Kendaraan pribadi pun belum punya. Demi segala kebrutalan dan kebiadaban sopir angkot dan metromini di Jakarta , tidak mungkin ibu menggunakannya. Angkutan yang paling cocok adalah taksi. Dan demi segala kemacetan yang terjadi di ibukota setiap harinya, tak terbayangkan berapa ongkos taksi yang harus dikeluarkan setiap harinya. Di KL, jarak satu tempat dengan tempat lainnya, juga tak beda jauh dengan Jakarta . Tapi yang membedakan adalah jalanannya lancar jaya. Naik taksi ke sana kemari hanya memakan waktu 10-15 menit.
Ketiga, sudah menjadi rahasia umum kalau dokter spesialis itu sangat susah ditemui. Sibuk setengah mampus mengejar setoran, mulai dari operasi, visit rawat inap, praktek di poliklinik, seminar, sampai nyambi di beberapa rumah sakit. Di sana , begitu datang, dokternya siap sedia. Memang dokter ini juga nyambi di RS lain, tetapi semuanya sudah terjadwal. Dokter yang menangani ibu merupakan spesialis onkologi klinik dan radioterapi. Di Indonesia, setahu saya, cuma ada spesialis hemato-onkologi dan bedah onkologi, which is gak cocok dua-duanya untuk keadaan ibu saat ini.
Di sini, setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani, akhirnya kami menyetujui melakukan kombinasi terapi: kemoterapi dan radioterapi. Radioterapi dilakukan setiap hari, selama 30 hari, sedangkan kemo dilakukan 6 kali tiap 3 minggu sekali. Untuk kemoterapi biasanya ibu berangkat menggunakan pesawat pagi. Lalu sampai di hospital sekitar jam 10-an, dan kemoterapi bisa langsung dilaksanakan jika keadaan ibu cukup fit. Besoknya sudah bisa pulang. Di Indonesia, jangan coba-coba berharap dalam 12 jam segala urusan ketemu dokter, persiapan, sampai kemoterapi bisa selesai. Apalagi kalau kita menggunakan jaminan, misalnya pasien tidak mampu, askes, atau asuransi lainnya. Antri untuk bisa kemoterapi bisa sampai satu bulan. Menggenaskan.
Dan alasan yang paling penting adalah soal biaya. Sekali kemoterapi memerlukan biaya sekitar 10 juta. Di Indonesia, untuk biaya per kemoterapi belasan sampai puluhan juta dengan pelayanan dan kelas yang sama. Untuk biaya radioterapi, saya belum pernah membandingkan, di sana langsung dibundling radioterapi selama 30 kali.
Delapan bulan sudah berlalu dari masa suram itu. Well, saya gak bisa bilang kalau sekarang hidup saya lebih baik. At least, tahun ini saya belajar banyak sekali. Perasaan menerima, ikhlas, dan mencoba memandang hal-hal buruk sekalipun dari sisi positifnya.
Minggu ini adalah kemoterapi ibu yang ke-6. Kemoterapi yang terakhir, sebelum nanti di evaluasi lagi oleh dokter. Mengutip dari sebuah blog penderita kanker yang pernah saya baca “Cancer can’t be heal, but people can live with it”.
So.. keep fighting mommy ^_^
3 Comments
semoga cepet sembuh ya mommy kamu..
ReplyDeleteminggu yang lalu, saya baru pulang dari sana. Sangat berbeda jauh dari Jakarta. Fasilitas umum pun sangat mempesona saya. Gak usah jauh2, toilet di stasiun kereta sangat bersih. berbeda dengan di sini. sampe terbesit dalam pikiran gw, untuk bekerja di sana.
Makasih Adi. Aaamiiin.
ReplyDeleteYup kalau ada kesempatan, knp gk dicoba mengais rezeki di sana :)
Maaf ya rika,, gw kayaknya kurang banget berempati sm rika.. Salam untuk ibu, yah.. :) carut marut emang di sini.. Semoga makin baik ya evaluasinya ;)
ReplyDeletethanks for your comment.
will be shown after moderation