Escaping Bali

Escaping Bali


          Kadang patah hati bisa membuat seseorang melakukan hal-hal tak terduga. Alasan lain, karena saya ingin menghadiahi diri sendiri untuk ultah ke-24. Dan satu hal, saya kangen pantai!.
            Jadilah hari itu saya ke Denpasar, sendirian, dan untuk pertama kalinya. Yay!...
Berbekal info-info traveling dari internet, tekad, beberapa kenalan di Denpasar, dan tentu saja duit.
            Satu-satunya akomodasi (legal) dari bandara adalah taksi.  Ada juga calo yang menawarkan ojek. Cuma kalau gak mau kena tipu-tipu, mending langsung beli kupon di konter taksinya. Bandara-Kuta: 50 ribu, gak pake kembalian. Dan Pukul 10 pagi WITA saya sudah teronggok berdiri di Pantai Kuta.
View dari Teras Kamar Penginapan

Dinner di Jimbaran





            Mau cari hotel ?. Dengan niat awal backpakeran, tentu saya mencari penginapan dengan harga miring. Dari Pantai Kuta, tinggal jalan kaki ke Gang Poppies 1 dan 2. Biaya penginapan di Gang Poppies 2 umumnya lebih murah dibanding Poppies 1, dan semakin pelosok lokasi penginapan akan berbanding lurus dengan biaya inap yang semakin murah. Saya berhasil dapat penginapan di Gang Poppies 2, semalam 60 ribu, kamar mandi dalam, twin bed, breakfast, fan, luas kamar sekitar 4,5 X 4 m, dan pegawai yang super ramah. Kalau berdua, per malam 80 ribu, artinya satu orang cuma bayar 40 ribu. Cuma ya itu, yang menginap di sana sebagian besar bule dan wisatawan asia. Dua malam berturut-turut saya terbangun dini hari, banyak tamu yang baru pulang, mabok, atau berantem sama pasangannya. But overall, worthed kok dengan harga yang murah meriah.
            Soal transportasi, alternatif yang paling menjanjikan yakni sewa motor. Di sepanjang Gang Poppies yang sesak oleh penginapan ini banyak berjejer motor untuk disewakan. Sewanya per hari cm 50-60 rb, cukup dengan meninggalkan KTP.  Lalu beli lah peta Bali dan kita bisa berkeliling sesuka hati.
            Mungkin salah satu yang membuat Bali sangat termasyur sebagai tempat wisata karena infrastruktur dan fasilitas yang mendukung. Tempat hiburan, restoran, penginapan, transportasi, dan pantai dimana-mana. Semua dapat diakses dengan mudah. Dari kasta termurah sampai kasta paling elit, ada. Komplit.

           Dan satu bonus lagi, rencana awal yang cuma sabtu-minggu, ternyata saya bisa extend sampai hari Senin, berhubung dapat libur tambahan dari kantor. Di Bali, selain pantai, satu tempat yang paling ingin saya kunjungi adalah Ubud.
           Jadilah hari senin itu saya bertekad ke Ubud. Kalau mau keliling Bali, tapi Kawan sedang males bawa motor atau gak bisa bawa motor ;p, ada alternatif lain yakni shuttle bus. Dari Denpasar atau tepatnya daerah Kuta, banyak tersedia shuttle bus, mulai dari tujuan pantai Sanur, Tanjung Benoa, Lovina, Ubud, Sampai ke Lombok juga ada. Untuk destinasi Lombok, biayanya sudah sepaket dengan ongkos penyebrangan kapal. Shuttle bus ini sebenarnya bukan bus, tapi sejenis mobil L-3000 yang bisa memuat sampai 9 orang. Frekuensi shuttle bus ini tergantung  tujuannya. Rata-rata tiap dua jam, paling pagi jam 8 dan paling sore jam 4. Cara mengakses shuttle bus ini cukup ke konter-konter “Tourist Information” yang banyak berjejer di sepanjang Kuta, Legian, dan penginapaan-penginapan di Gang Poppies.
Setelah check-out dari penginapan, berangkatlah saya  dengan membayar ongkos 50 ribu. Dua jam berlalu, dan sampailah saya. Dengan namanya yang tersohor, sebelumnya saya membayangkan Ubud tak jauh beda dengan Kuta, hanya mungkin lebih sepi dan lebih banyak galeri seni.
Akhirnya Saya Berhasil Mengunjungi Ubud
Begitu sampai, Ubud langsung mengingatkan saya pada daerah Kasongan di Yogyakarta.  Jalanan utama di Ubud hanya selebar 2 meter, sepi, dingin, berjejer toko cendera mata, lebih banyak pura, galeri seni, dan frekuensi kendaraan roda empat per menit yang masih bisa dihitung dengan jari. What a peacefull place, I like it!.


            Balik dari ubud, saya langsung ke RS Sanglah, kebetulan teman saya bekerja di sini. Sempat melihat-lihat sebentar. Ironis juga, saya kerja di RS, eh liburan tetep ketemu RS juga.  Dengan waktu yang tersisa kurang dari 3 jam, sempat bingung mau ke dreamland atau GWK. Atas saran dari teman yang bilang kalau dreamland gak jauh beda dengan Kuta, saya putuskan ke GWK. Di sana poto-poto sampe bego, bisa dibilang GWK termasuk salah satu land mark-nya Bali. Jadi rugi kalau ke Bali gak poto-poto di sini. Tempatnya sih kalau level 1-10 dapat angka 7 deh. Kalau kata temen saya, malam hari lebih bagus, tata cahaya lampu plus pertunjukan-pertunjukan seni membuat GWK lebih dari sekedar tempat buat foto-foto bersama patung raksasa.
Selesai dari GWK, dengan waktu yang kurang dari satu setengah jam, masih sempat mampir mengisi perut di sebuah resto dengan harga miring, lupa saya nama restonya apa. Sore hari Denpasar lumayan macet, untungnya kalau pakai motor bisa nyalip-nyalip. Sampai di bandara, tak sampai 20 menit, penerbangan saya sudah boarding. Saatnya kembali ke dunia nyata. What a great escape
GWK: Bali Land Mark

Patung Ngurah Rai: Bali Land Mark

Tugu Bom Bali: Bali Land Mark

Post a Comment

0 Comments